Tangannya sibuk mengaduk bubur ayam hingga bentuknya tak menarik lagi, jika sudah kehilangan selera makan—maka bisa dipastikan kalau Rachel tengah memikirkan banyak hal, dan Leo salah satunya. Gadis itu menatap arloji nan melingkar manis di pergelangan tangan kirinya, sudah pukul sembilan pagi. Rachel mendesah, sepertinya ia yang lebih sering menunggu ketimbang Leo, dan bersabar adalah sebuah kewajiban yang selalu dilakoninya.Kepala Rachel menoleh pada pintu kantin, ia berharap laki-laki itu lekas datang untuk mengakhiri waktunya yang terbuang sia-sia. Padahal Leo janji setengah sembilan akan sampai, tapi hingga pukul sembilan tak muncul rupa cowok itu.
Gadis itu lantas menoleh saat sendok yang ia gunakan sebagai luapan kekesalannya tiba-tiba direbut seseorang, kini berganti sendok yang telah terisi oleh sarapan pagi pesanan Rachel mengambang di depan wajahnya, dan pelaku yang bertanggung jawab atas insiden mengagetkan jantung adalah Raka.
"Sarapan dulu, Hel. Aaa ...." Raka yang berdiri di seberang Rachel kini membungkuk seraya memainkan sendok yang dipegang layaknya pesawat terbang, dan ia berhasil membuat Rachel tertawa sebelum isi sendok itu mendarat sempurna di bibir Rachel. "Nah gitu dong, nanti kalau lo anggurin malah buburnya jadi nasi, Hel."
Gadis itu kembali tertawa, entah kenapa setiap Rachel kecewa dengan sikap Leo, pasti Raka datang untuk membangkitkan senyumnya. Teman Leo itu punya sejuta cara membuat Rachel tertawa, sebenarnya Rachel memang tipikal gadis yang mudah tertawa sekalipun lelucon tersebut garing. Hanya saja jika berada di dekat Leo, seperti tak ada bagian lucu sama sekali, jika berada di dekat Leo justru Rachel seperti manekin nan harus siap terima apa saja perintahnya—sekalipun salah satunya membuat Rachel patah, gadis itu hanya tahu diri kalau ia juga pernah salah, ia yang membuat janji itu sendiri, munafik kalau ia harus ingkari.
"Apaan sih, Ka. Ngibul terus kerjaan lo." Rachel merebut sendok itu dan beralih melakukannya sendiri, Raka tersenyum simpul, ia akhirnya duduk di seberang Rachel. Raka lega melihat senyum gadis itu lagi—setelah kemarin malam sempat dibuat menangis oleh Leo.
Harusnya gue yang ada di posisi itu, Hel. Bukan Leo, dia cuma bajingan yang bisanya buat lo nangis terus, munafik kalau sekarang gue nggak pengin peluk lo.
"Oh ya, nanti sore manggung di mana?" tanya Raka, ia tak ingin kehilangan momen manis saat berdua dengan Rachel meski sekadar obrolan ngalor-ngidul.
"Di kafe Oma Mona."
"Neneknya Leo?"
Rachel mengangguk, ia kini lebih semangat menghabiskan sarapan paginya. Rachel lebih sering melangsungkan sarapan pagi di kantin kampus ketimbang warung dekat tempat kostnya, ia sendirian di Jakarta, semua keluarganya tinggal di Bandung. Beasiswa kampus yang membuatnya bisa sampai di Jakarta dan menemukan makhluk semacam Leo.
Seseorang berdeham—membuat Rachel dan Raka menoleh pada pintu utama kantin, mereka memang duduk pada meja paling depan persis di dekat pintu. Keduanya menemukan Leo nan sudah berdiri seraya bersandar di pintu, kedua tangannya bersidekap, saat itu juga senyum di wajah Raka hilang. Kenapa Leo harus datang saat Raka menikmati momen menyenangkannya bersama Rachel.
Raka beranjak, ia paling peka terhadap situasi semacam itu. "Gue cabut dulu ya, Hel."
Rachel mengangguk saja, ia melanjutkan sarapan paginya tanpa memedulikan Leo yang masih berdiri di ambang pintu. Laki-laki itu bergerak menghampiri Rachel sebelum merebut sendok dan beralih menyuapi Rachel.
"Bukan cuma Raka yang bisa suapin lo, gue juga bisa," aku Leo mempertegas kalau ia cemburu.
Rachel tersenyum masam. "Cemburu?" Terus lo pikir perasaan gue gimana pas lihat lo tidur sama roommate lo itu, cowok bangsat!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayap-Sayap Patah (completed)
RomanceSekuel of 'Danke' Romance, angst. "Terbang setinggi yang lo mau, lari sejauh yang lo bisa. Senang dikasih kebebasan, 'kan? Tapi satu hal, saat lo capek nanti--nggak usah cari tempat buat lo pulang, karena dia udah capek buat mengerti segalanya, dan...