Rachel mengumpulkan tenaga sebelum mendorong tubuh di depannya hingga tersungkur di rerumputan yang basah oleh air hujan, Rachel meraup wajah sebelum memasang ekspresi marah ketika Leo buru-buru beranjak mendekat lagi.
"Stop di situ!" Rachel angkat tangan kanan hingga Leo akhirnya mengalah. "Jangan lanjutin lagi, Leo. Kita ini apa? Kita bukan lagi siapa-siapa, kan? Tolong jangan lakukan hal yang seolah udah terbiasa buat lo."
"Hel." Leo juga meraup wajahnya, sungguh ia menyadari jika tak bisa mengontrol keinginannya ketika berada di dekat Rachel, laki-laki itu selalu merasa kalau Rachel akan terus ia miliki meski status mereka sudah berbeda, Leo merasa gadis itu selalu masuk pusaran ruang teritorinya.
"Leo, gue sama lo udah putus. Gue yakin lo nggak amnesia soal itu, jadi tolong ... jangan kayak gini lagi ke gue, we are nobody again."
"Gue sayang sama elo, Hel."
"KITA UDAH PUTUS!!!" Suara Rachel sampai naik dua oktaf, dadanya kembang kempis mengimbangi emosi sebab terus naik ke ubun-ubun. "Lo seolah lihat gue seperti cewek murahan yang mau diapa-apain, gue masih punya harga diri! Cari cewek yang mau lo apa-apain sesuka hati!"
"Sedikit pun, Hel. Sedikit pun nggak ada anggapan kayak gitu buat lo dari gue. Semua ini gue yang salah, gue yang terlalu berkhayal kalau lo masih ada buat gue." Leo menarik napasnya. "Pecundang ini nggak bisa tanpa elo, Hel."
"Berhenti ngerayu, gue nggak butuh omong kosong lo. Kasihan Natasha kalau tahu pacarnya masih begini, posisi Natasha sama kayak posisi gue waktu itu, coba lo pikir sendiri." Rachel memutar tubuh dan melangkah pergi, ia kembali berlindung di bawah Jembatan Pasupati sekalipun tubuhnya sangat basah. Kini Rachel benar-benar merasakan dingin menguliti tubuhnya, ia merinding disetiap sudut.
Rachel duduk pada salah satu kubus, ia memeluk lengannya—merasakan dingin hingga gigi-gigi gemretak. Jika bukan ulah jahil Leo, tak mungkin Rachel merasa seperti ini.
Baru saja, sebuah jaket merangkul Rachel dari belakang meski empunya sudah dimaki-maki tadi, tapi Leo sengaja menulikan telinga untuk setiap kata yang Rachel lontarkan. Biarkan ia egois dan keukeuh dengan keinginannya untuk menunggu Rachel.
"Nggak perlu, lo aja," ujar Rachel lirih seraya meloloskan jaket di punggungnya dan mengembalikan benda itu pada Leo, cowok itu berdiri di sisi kanan.
"Please, Hel." Leo mengiba hingga Rachel memilih pasrah mengenakan jaket itu lagi.
Rachel kembali duduk seraya bergeming menatap derasnya hujan yang belum juga reda, ia sudah tak tahan lagi berada di sana. Ingin lekas berlari dan menerobos air hujan, tapi tak mungkin juga. Jarak rumah dari Taman Pasupati cukup jauh, sama saja menyiksa fisik sendiri jika harus berlari sepanjang hujan masih turun.
Leo juga memutuskan duduk di kubus lain seraya mengalungkan tali kamera di lehernya, ia menyesali banyak hal untuk perbuatan gila tadi. Baginya, Rachel terlalu membius dan sulit membuat Leo untuk sabar. Ia ingin menjangkau Rachel lebih jauh lagi, tapi semua itu takkan mungkin.
Leo membuang napas kasar, ia menatap arloji nan menunjukan pukul empat sore. Tadi sekitar pukul satu ia dijemput teman barunya sesama anak Explore Bandung, jadi Leo tak sempat membawa mobil setelah putuskan menumpang, kini ia menyesali kebodohan tersebut. Andai ia membawa mobil, pasti bisa mengantar Rachel pulang sekarang.
Laki-laki itu menoleh menatap Rachel yang sibuk menikmati rintik hujan, seirama dengan detak jantungnya.
Kenapa sih, Hel. Kenapa. Batin Leo.
Lidah Leo terasa kelu untuk berucap, ia tak suka pada keadaan yang memaksanya agar diam.
"Jangan egois, Leo." Suara Rachel akhirnya terlontar, tapi gadis itu masih enggan menoleh.
"Gue nggak bisa kalau nggak egois, Hel." Keberanian Leo untuk bicara juga akhirnya muncul. "Gue emang begini."
"Jangan sakiti hati orang-orang lagi, cukup ...." Rachel menoleh. "Gue aja emang enggak cukup?"
"Hel, gue nggak bisa. Gue cuma mau elo."
Rachel tertawa hambar. "Mau gue? Lo sinting?"
"Gue serius, Hel."
Gadis itu mengibas tangan kanan. "Mau gue buat apa gitu? Kayak yang udah-udah, inget aja bikin gue sakit hati, terus buat apa dijalani lagi, itu sama aja gue bunuh diri." Ekspresi Rachel berubah serius. "Jangan anggap gue cuma omong kosong, lo nggak akan tahu gimana rasanya waktu itu, Leo. Oke, gue ngaku salah karena jadi alasan lo bikin semua kekacauan itu, tapi harusnya lo mikir lebih dulu konsekuensi ke depannya gimana. Gue juga manusia, punya rasa marah juga benci."
Leo beranjak, ia mendekati Rachel—yang akhirnya ikut beranjak.
"Lo harus belajar ikhlaskan sesuatu yang bukan milik lo lagi, Leo. Kalau gue udah biasa, karena dari lama emang nggak pernah memiliki elo sekalipun status kita waktu itu masih pacaran." Hati Rachel mulai remuk lagi jika membahas masa lalu, tapi Leo juga perlu paham kondisi yang harusnya diubah, mereka bukan lagi siapa-siapa.
"Gue udah coba, Hel. Nggak bisa."
"Jangan cengeng. Itu bukan lo." Rachel tersenyum miring. "Menyesal emang selalu datang di akhir."
Leo menarik tangan kanan Rachel sebelum tubuhnya bisa Leo dekap erat, dan empunya tak menolak sama sekali.
"Give me a second chance, Hel." Tangan kanan Leo terangkat mengusapi rambut basah Rachel, sementara ia menyandarkan dagu di bahu kiri gadis itu. Semua masih sama seperti dulu, nyaman.
Rachel bergeming, tiba-tiba saja air matanya meluruh menghangatkan wajah. Ia tak bisa menahan rasa sakitnya, Rachel yakin ia takkan mampu jika harus mengulang memoar luka, tapi kenapa Leo masih bersikukuh. Jika Leo berada di posisi Rachel saat itu, mungkinkah masih ada kata 'maaf' untuknya?
Apa status pertemanan yang masih rela Rachel berikan tak cukup membuat Leo memahami kalau Rachel masih sudi menerima laki-laki itu dalam rangkaian hidup nan penuh oleh teka-teki?
"Gue minta maaf, Hel. Semua yang gue lakukan di masa lalu benar-benar bikin gue menyesal, tolong balik ...," pinta Leo begitu mudahnya, sedangkan gadis yang masih ia rengkuh justru sibuk menangis tanpa suara.
Rachel mengusap air mata sebelum mendorong Leo agar menjauh, mata gadis itu kentara merah. "Buat apa ngulang rasa sakit, Leo. Orang buta pun nggak bakal mau ngelakuin itu, gue yakin lo bakal nemu cewek yang pas buat lo, jangan mengharap gue terus kayak gini."
Luka yang membuat gadis itu memutuskan melangkah menjauhi Taman Pasupati dan berakhir menerobos hujan seraya melangkah sendirian di sisi jalan, ia tak peduli jika jaket yang digunakan untuk menghangatkan tubuhnya tadi ikut basah. Rachel terus melangkah seraya memeluk lengannya dan kembali menangis merasakan perih berkepanjangan.
Sepertinya, Leo memang pencipta luka terhebat untuk hidup Rachel.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayap-Sayap Patah (completed)
RomantizmSekuel of 'Danke' Romance, angst. "Terbang setinggi yang lo mau, lari sejauh yang lo bisa. Senang dikasih kebebasan, 'kan? Tapi satu hal, saat lo capek nanti--nggak usah cari tempat buat lo pulang, karena dia udah capek buat mengerti segalanya, dan...