40. Music festival.

1.6K 169 29
                                    

"Apa nih?" Leo duduk di tepi ranjang usai meraih dua tiket festival musik tergeletak di nakas, ia merasa baru melihat benda tersebut hari ini. Seharian memang Leo tak berada di rumah, ia masih sibuk bersama komunitas fotografernya. "Ini bukannya band indi kesukaan Rachel?"

Suara derit pintu terdengar hingga benda persegi panjang tersebut terbuka, tanpa mengetuk pintu lebih dulu Ananta langsung masuk ke kamar sang kakak, untung saja laki-laki itu sedang tidak telanjang. Sekalipun Leo marah-marah pun kebiasaan buruk Ananta tak kunjung sirna, sabar dan tabah adalah sikap yang harus Leo tekankan ketika adiknya lagi-lagi berlaku ceroboh.

"Wah! Langsung dipegang!" seru Ananta sebelum naik ke ranjang Leo dan bersila di sebelah sang kakak yang menatapnya tanpa kedip, tentu saja bukan tatapan bersahabat. Ananta meraup wajah Leo seraya berkata, "Biasa aja kali, Bang. Nanta emang cantik, jadi nggak usah segitunya."

Leo berdecak. "Mau pergi pakai cara halus atau kasar?"

"Mau nakalin Ananta? Mana sini tiketnya, nggak jadi buat Abang." Ananta beranjak—bersiap merebut tiket dari Leo, tapi laki-laki itu menymbunyikan tangannya di balik punggung, si adik bersidekap. "Tuh, kan! Udah dikasih hati minta jantung, sini tiket Ananta. Percuma baik hati ke Abang, nggak ada balasannya."

"Maksud lo apa sih? Bertele-tele," cibir Leo.

"Itu tiket punya Ananta, tapi nggak jadi dipakai soalnya ketabrak sama acara ulang tahun teman. Daripada dibuang kan sayang belinya pakai duit, ya udah buat Abang aja. Eh, malah sekarang masih galak." Gadis itu mencebik, melempar wajah ketika Leo tersenyum miring.

"Serius ini buat gue? Sejak kapan lo mikirin Abang lo, pasti ada maunya, kan? Nggak mungkin gratis."

Ananta menoleh, wajahnya tampak bersemu dengan binar mata yang menjelaskan ekspresi bahagia. Dia menunduk seraya mengguncang bahu Leo. "Abang emang paling peka, tahu aja itu enggak gratis."

"To the point ajalah, gue mau istirahat."

Ananta berdiri tegap, tangan kiri bersidekap, sedangkan tangan kanan menengadah di depan wajah Leo. "Bagi duit buat beli kado ulang tahun temen Ananta, kan duitnya udah buat beli itu tiket."

"Pinter banget lo jadi bocah." Leo mendengkus dan beranjak, ia membuka laci nakas sebelum mengeluarkan beberapa lembar uang miliknya nan tersimpan di sana. "Nih buat elo." Leo mengulurkan lima lembar pecahan seratus ribuan pada sang adik.

"Asyik! Abang Leo gantengnya sedunia!"

***

Mobil yang dikemudikan Leo melaju dengan kecepatan sedang, kamera miliknya tergeletak di dashboard, sebuah lagu milik Elvis Presely turut mengalun menemani waktunya malam ini. Langit sendiri sudah mengabu sejak pukul tiga, tapi sama sekali belum menurunkan riuh rintik hujan, hanya gemuruh petir yang berkali-kali terdengar.

Setiap malam tepian jalan nan biasa ramai oleh pedagang kaki lima mulai sepi sejak musim penghujan datang, hanya segelintir gerobak penjual yang masih setia mengais rezeki bersama tuan-nya. Jika langit sudah mengabu, orang-orang mulai sibuk melangsungkan aktivitas di rumah ketimbang berlalu-lalang di jalan, hujan bisa turun kapan saja.

Leo sendiri telah terbiasa dengan keadaan itu, hujan takkan membuat aktivitasnya terhenti begitu saja. Ia sendiri tengah memusingkan sesuatu yang sejak kemarin malam sudah mengusik pikiran, semua perihal tiket festival musik nan siap menampilkan beberapa band indi Bandung. Leo hanya sadar jika seseorang pasti menyukai hal itu, tapi ia tak tahu harus seperti apa membaginya.

"Kalau gue kasih satu ke dia, apa mau terima? Dia benci sama gue," gumam Leo, "tapi, Rachel suka banget band itu. Kasih apa enggak?"

Harusnya mobil Leo sudah berbelok melewati gapura komplek perumahan Cempaka Hijau, tapi mobil justru terus melaju tanpa tujuan, sesuatu seakan berbisik kalau ia harus mengusaikan kegelisahannya sekarang.

Sayap-Sayap Patah (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang