16. Someone need you.

3K 225 41
                                    


Hujan malam ini sudah membasahi tubuh Leo tatkala si pemilik raga bergeming berdiri di depan gerbang kost Rachel sekitar pukul sebelas malam. Leo merindukan gadis itu, hanya saja ia tak tahu bagaimana membuat Rachel paham kalau Leo masih sangat membutuhkannya, terlebih secuil harapan nan sempat singgah—seketika lenyap setelah tahu jika Rachel sudah dimiliki temannya sendiri. Ia merasa berada jauh di belakang Raka, ia merasa benar-benar tak ada artinya lagi untuk Rachel.

Kenapa semua kesalahan baru Leo sadari setelah ia melepaskan? Ke mana saja laki-laki itu saat Rachel masih bisa mempertahankan?

Memang tetap sama, menyesal selalu datang di akhir—sebab yang pertama adalah bagaimana cara berpikir agar tak melakukan hal sia-sia atau tak berguna nantinya, tapi sejak awal Leo sudah mementingkan ego di depan, sementara akal sehatnya berada jauh di belakang—bahkan mungkin di bagian paling akhir. Lantas saat ini, akal sehatnya sedang bertahta, memicu Leo untuk menyelami lebih banyak lagi hal bodoh yang telah ia lakukan sejak lama. Memangnya Leo tak sadar kalau sejak lama ialah yang berusaha menarik ulur perasaan Rachel sendiri hingga mulai pudar dan berakhir lebur.

Saat kilat petir seperti menghancurkan langit, laki-laki itu enggan bergerak—tetap mematung di tempatnya. Bola mata Leo terus menatap kamar nomor lima yang tertutup rapat, sedangkan empunya sudah terlelap damai bersama jutaan bunga tidur yang siap menghampiri, bahkan Rachel berharap—jangan sampai Leo hadir dalam mimpinya sekalipun.

"Rachel," lirih Leo, tubuhnya bergetar merasakan dingin nan terus menjalar menguliti tanpa ampun, wajah kuarsa di sana semakin pucat saja sekarang, sorot mata Leo mulai abu-abu setelah pelanginya hilang.

Tangan kanan Leo terulur meremas besi gerbang kost, ia merasa begitu pengecut, merasa diciptakan tanpa guna—setelah melepaskan satu-satunya gadis yang membuatnya lebih berarti.

"Baik-baik ya, Hel," pamit Leo seraya memutar tubuhnya, ia kembali masuk mobil, duduk di balik kemudi. Leo memukul kemudi beberapa kali. "Dasar pecundang! Guna gue di dunia ini apa!"

Sekali lagi, Leo meluruhkan kaca mobilnya dan melihat kamar kost nomor lima, si pemilik tak mungkin juga akan keluar setelah kehangatan tercipta karena balutan selimut kala hawa dingin menyergap.

"Selamat malam, Rachel." Leo mengajak kendaraannya melaju pergi, hujan masih saja turun begitu deras seolah pamer kalau salah satu makhluk bumi juga ingin menumpahkan air hujannya meski tak bisa, Leo belum bisa menangis untuk saat ini, dia belum tahu sakit hati yang lebih parah akan seperti apa jika nanti sesuatu yang diharapkannya kembali—ternyata tak lagi menoleh.

***

Pagi itu seulas senyum terpatri di wajah Raka setelah gadisnya turun dari motor, sudah seminggu belakangan mereka menjalin hubungan, dan semua orang di kampus sudah tahu—termasuk Aileen serta Kenta yang mendukung seratus persen hubungan Raka serta Rachel.

Raka membantu melepas helm dari kepala Rachel, ia ikut merapikan rambut terurai gadisnya seraya menatap wajah Rachel tanpa pernah merasa bosan. Raka selalu merasa kalau ia masih bermimpi saat menyadari seorang Rachel benar-benar berstatus sebagai kekasihnya, Raka berpikir ini mustahil.

Raka bukan tipe teman makan teman, dia tak menikung Leo, buktinya Raka setia menunggu Rachel hingga putus dari Leo, setelah itu baru meloloskan panahnya tepat sasaran.

"Makasih, Ka. Gue langsung ke kelas aja ya sekarang, bentar lagi mulai." Rachel menatap arloji, jarum pendek mendekati angka delapan.

"Nggak sarapan dulu?" tawar Raka, ia masih paham kalau Rachel lebih sering melakoni sarapan di kantin.

"Oh, enggak. Kebetulan tadi pagi ada tukang bubur ayam lewat depan kost, jadi sarapan sekalian tadi." Rachel menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. "Bye, Raka."

Sayap-Sayap Patah (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang