46. Truth or dare.

1.4K 172 46
                                    

Siomay, seblak hingga cuanki khas Bandung sudah Rachel nikmati, semua pun rasanya pedas. Leo sendiri sampai lupa menikmati makanannya saat rasa khawatir menyergap akibat ulah Rachel, keringat bercucuran tatkala hawa panas merambat ke sekujur tubuh akibat efek dari tiga jenis makanan pedas yang Rachel nikmati.

Entah kesetanan atau kelaparan, yang jelas gadis itu terlihat cukup buas menikmati makanannya.

Meskipun khawatir, tak mungkin Leo tak tersenyum saat mengamati perilaku gadis yang duduk bersila di sebelahnya. Mereka berada di Taman Vanda hingga malam tiba, cup es teh milik Rachel sudah kosong dan hanya menyisakan segelintir batu es berukuran kecil. Tinggal milik Leo tiba-tiba disambar Rachel tanpa izin lebih dulu.

"Pelan-pelan aja, nggak ada yang bakal rebut dari elo," ujar Leo saat Rachel terburu-buru menyeruput minumnya hingga terbatuk.

"Nggak ikhlas lo, ya?" Rachel mengerucut, ia meletakan es teh yang masih tersisa setengah di selasar. Kedua makhluk itu bersila di antara beberapa tangga yang biasa digunakan untuk duduk para pengunjung Taman Vanda.

"Nggak ikhlas gimana? Kan elo yang tiba-tiba ambil tanpa bilang."

"Tuh kan sewot." Rachel makin berburuk sangka.

"Astaga, Hel. Kalau mau diminum ya minum aja, semua yang gue punya buat elo." Melihat tingkah Rachel begitu kekanakan membuat Leo ingin terus tersenyum.

"Benar nggak! Awas kalau bohong."

"Bener kok, ambil aja."

Rachel mengikuti perintah Leo, ia meraih lagi cup tadi dan menyeruput isinya hingga habis. Kali ini rasa pedas benar-benar berkurang.

"Nggak mau pulang? Udah malam lho ini," ujar Leo seraya menatap arloji nan menunjukan pukul delapan malam.

"Nanti aja, gue udah chat bunda kalau jalan sama elo kok. Dia nggak akan marah, bunda percaya banget sama lo."

"Tapi, gue malah salahgunakan kepercayaan itu."

Rachel refleks mendorong bahu kiri Leo. "Apaan sih malah baper. Mending Leo nyanyi lagi, kasihan gitarnya dianggurin."

"Bentar." Laki-laki itu memperhatikan tiga orang laki-laki sebaya mendekat ke arah Taman Vanda, Leo sendiri merasa familier dengan postur tubuh salah satunya meski lama tak jumpa.

"Lihatin siapa?" tanya Rachel yang kini mengikuti arah pandang Leo.

"Gue kayak kenal mereka," sahut Leo.

"WOY! BENERAN SI LEO TERNYATA!" seru laki-laki berambut ikal dengan postur paling tinggi, Alden namanya, ia adalah salah satu teman Leo masa SMA.

Alden, Brian serta Ikwan semakin mendekat ke arah Rachel dan Leo.

"Teman lo?" tanya Rachel.

"Iya, sini deketan." Tanpa menunggu lebih lama, Leo sudah lebih dulu menarik pinggang Rachel agar lebih dekat dengannya. Kini tubuh mereka sudah lebih rapat, entah mengapa Leo mulai merasa tak nyaman begitu melihat teman lamanya datang.

"Apa kabar lo? Katanya kuliah di Jakarta?"

"Ini cewek siapa? Pacar ya?"

"Kenalan boleh nggak? Minta nomor hape dong, biasanya Leo suka bagi nomor ceweknya kalau udah bosan."

Alden, Brian dan Ikwan bertanya bergantian. Leo sendiri mengantisipasi atas sikap teman-temannya pada Rachel dengan berpindah posisi duduk, kini Rachel berada di sisi kiri Leo, sedangkan teman lama Leo berada sebaliknya.

Kok Leo kayak takut gini, biasanya dia pede aja, batin Rachel saat tangan Leo menggenggamnya erat.

"Iya kuliah di Jakarta, lagi libur semester jadi pulang ke Bandung. Dia Rachel, gue nggak mau bagi soal apa pun dari dia buat kalian," jelas Leo posesif, ia semakin tak menyukai tatapan Alden yang enggan berkedip pada Rachel. Leo sendiri cukup memahami karakter tiga teman lamanya itu, lebih beringas dan gila perempuan melebihi Leo.

Sayap-Sayap Patah (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang