44. Nightmare.

1.9K 153 28
                                    

"Dengar baik-baik. Kaca yang pecah nggak akan bisa disatukan lagi, sekalipun kamu berusaha menyatukan pasti masih ada bekas retaknya. Kamu nggak bisa menukarnya sama kaca baru, kamu cuma perlu memperlakukannya lebih baik, menjaganya sungguh-sungguh, jangan sampai kamu lebih remukan lagi kaca itu sampai dia lupa cara buat utuh. Karena luka yang kamu buat udah lebih dari cukup buat Rachel membenci kamu selamanya, Leo."

Menelan ludah dan mengepalkan tangan, hanya itu yang bisa Leo lakukan saat mengingat perkataan Pelita kemarin malam. Wanita itu benar, Rachel bisa saja membenci Leo selamanya setelah luka dalam usai menusukannya dengan sengaja. Namun, lihat saja sekarang, bukankah Rachel sebaik itu membiarkan Leo berkeliaran di depan mata, bahkan masih menganggapnya sebagai teman sekalipun memoar luka yang dimiliki Rachel jelas sulit hilang.

Kata orang, rasa sakit hati memang tak ada obatnya, hanya satu yang diperlukan, yakni sebuah keikhlasan.

Yakinlah, Rachel tengah mencoba yang terbaik untuknya. Tuhan sangat baik, ia sengaja memberikan Rachel luka separah itu agar bersikap lebih dewasa setelahnya, agar Rachel paham kalau tak semua hal bisa sesuai dengan kehendak hati dan pikirannya, ia hanya satu di antara semilyar manusia yang terluka akan sebuah hubungan. Entah yang dirasakan luka parah atau biasa saja, rasanya akan tetap sama: menyakitkan.

Rachel nggak akan benci gue selamanya, kan? Diraihnya setangkai mawar putih yang tergeletak di dashboard, laki-laki itu memutuskan keluar dari mobil setelah lima belas menitan berdiam tanpa melakukan apa-apa di depan garasi rumah Rachel meski tertutup rapat.

Leo memutuskan membuka gerbang sendiri hingga ada celah baginya bisa masuk, meski ragu kaki-kakinya tetap saja melangkah menghampiri pintu rumah.

Tak ada sesuatu yang baginya asing saat sering datang ke rumah itu, dulu. Kini hanya kenang bersama bayang nan seolah diperlihatkan dengan layar proyeksi di depan mata Leo, papan catur bersama dua gelas susu jahe pernah menemani malam Leo bersama Sagara beberapa bulan silam di beranda rumah itu.

Leo ingat betul sikap ramah ayah Rachel begitu low profile, suka menggunakan sarung dan kaus oblong saat malam tiba meski Sagara sendiri adalah orang kepercayaan Karang yang memiliki jabatan penting di kantor.

Jika mungkin, Leo ingin mengulang kembali interaksi akrab itu meski ia dan Rachel tak lagi miliki hubungan apa-apa.

Kaki itu kini terhenti di depan pintu, Leo tarik napas panjang sekadar mempersiapkan mental sebelum tangannya terangkat mengetuk pintu.

"Permisi, ada orang di dalam?" Bibirnya pun mulai bersuara.

Aneh, berulang kali Leo mengetuk pintu tetap saja tak ada seseorang yang membukanya seolah rumah Rachel memiliki penghuni. Saat tangan Leo bergerak memutar kenop, pintu terbuka.

"Ini nggak dikunci? Kalau nggak ada orang kenapa nggak dikunci?" Leo mulai bingung, ia putuskan buka pintu lebih lebar dan bergerak masuk perlahan seraya edarkan pandang, nyatanya keadaan di dalam memang begitu sepi. "Hel? Lo ada di rumah, kan?"

Leo terus melangkah hingga menapaki tangga, ia cukup tahu di mana kamar Rachel berada. Kaki-kaki itu bergerak lebih cepat sampai terhenti dan mematung saat mendengar sesuatu yang mengusik telinganya, semacam ... desahan.

Pintu kamar Rachel tak tertutup rapat, Leo sendiri sengaja mendorongnya lebih lebar agar tahu aktivitas di dalam. Namun, hantaman sebilah bambu seakan menembus jantungnya kala sepasang iris melihat jelas dua manusia sibuk bergelut di ranjang, mereka Raka dan Rachel.

Darah mulai menetes dari tangan kiri Leo saat mawar yang sempat dibawanya kini diremas erat hingga duri-duri itu menusuk kulit.

"RACHEL!!!"

Sayap-Sayap Patah (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang