***
Sejak pulang hujan-hujanan sore tadi, Rachel tak keluar dari kamar hingga pukul sembilan malam, padahal Mili sudah menunggunya untuk makan malam bersama Sagara, tapi anak gadisnya sama sekali tak keluar kamar dan mengunci dari dalam.
Mili sempat berpikir kalau Rachel mungkin tengah beristirahat, tapi ia mulai khawatir saat ketukan pintu darinya sama sekali tak dijawab Rachel. Wanita itu masih setia berdiri di depan kamar sang putri, rautnya kentara cemas, ia terus menyebut nama Rachel.
Terdengar suara kunci diputar hingga kenop bergerak dan pintu terbuka sedikit, Mili makin khawatir mendapati wajah Rachel begitu pucat.
"Kamu sakit, Hel?"
Rachel menggeleng. "Enggak kok, ini cuma—"
"Bunda nggak percaya." Mili mendorong pintu lebih lebar dan mendekati sang putri, ia menempelkan punggung tangan pada kening Rachel sebelum berakhir mengernyit. "Ini beneran demam, Rachel. Kenapa nggak bilang ke bunda kalau kamu sakit, pantas aja ditunggu makan malam nggak keluar-keluar."
"Bunda, aku—"
"Sini." Mili menarik pelan sang putri menuju ranjangnya, ia mendudukan gadis itu di sisi ranjang. "Kalau ada apa-apa bilang sama bunda, kamu di Bandung, Hel. Bukan Jakarta—yang kalau sakit masih bisa bohong ke bunda."
Rachel hela napas panjang, ia memang takkan mungkin berbohong, tubuhnya yang lemah dan demam itu juga mendukung jika si anak sematawayang tengah sakit setelah hujan sore tadi.
"Maaf, Bunda," sesal Rachel, "aku pikir tidur sebentar bisa bikin sembuh."
"Makan terus minum obat, habis itu istirahat. Bunda ambil dulu sebentar, sekarang jangan ke mana-mana." Mili beranjak keluar kamar meninggalkan Rachel yang semakin merasa bersalah, saat di Jakarta ia sering berbohong tentang keadaannya pada Mili, ia melakukan semua itu agar sang ibu tak khawatir. Bukankah setiap orangtua ingin mendengar kabar baik dari anaknya yang tinggal berjauhan?
Rachel hanya berpikir kalau berbohong untuk kebaikan itu sah-sah saja.
Gadis itu menoleh pada ponsel nan tergeletak di permukaan nakas, benda pipih itu berdering menandakan sebuah panggilan masuk. Empunya menggeser duduk sebelum meraih ponsel, tertera nama Raka di sana.
Rachel mengulas senyum tipis, baru kali ini Raka menghubunginya lagi setelah terakhir kali kata break terlontar dari bibir Rachel.
"Malam, Hel." Suara Raka sudah merasuk ke telinga Rachel.
"Malam, Ka? Apa kabar?"
"Gue ya ... baik-baik aja walaupun nggak baik." Raka tertawa kecil. "Nggak ish! Gue baik-baik aja kok, kayaknya lo yang lagi nggak baik-baik aja, kan?"
Rachel mengernyit, kenapa Raka begitu peka tentang keadaannya yang memang sedang tidak sehat, apa ini telepati?
"Gue baik-baik aja kok, kata siapa gue nggak baik-baik aja." Rachel berbohong.
"Masa? Kok kayak nggak enak gitu ya perasaan gue, tapi hatinya juga baik-baik aja?" Raka kembali terkekeh dan membuat Rachel ikut terkekeh, tiba-tiba Rachel merindukan laki-laki itu.
"Iya perasaan lo aja kali, gue nggak apa-apa kok." Rachel matikan panggilan secara sepihak ketika melihat Mili masuk kamar, gadis itu tak ingin Raka sampai mendengar jika dirinya tengah demam sekarang.
"Teleponan sama siapa, Hel? Kok nggak dilanjut?" tanya Mili, wanita itu melangkah seraya membawa sebuah nampan berisi sepiring makan malam, gelas berisi air putih dan beberapa butir obat untuk anak gadisnya.
"Bukan siapa-siapa kok, Bun," dalih Rachel, ia membiarkan sang ibu duduk di sebelahnya seraya meletakan nampan di pangkuan.
"Mau bunda suapin atau makan sendiri aja?" Pertanyaan itu membuat Rachel menerawang. "Suapin aja ya, kalau makan sendiri takut kamu bohong, nanti kamu buang ke tempat sampah semuanya."
"Ya nggak mungkin Rachel kayak gitu, apalagi makanan dari Bunda."
"Tapi bunda masih nggak percaya, bunda suapin aja ya. Anggap kalau kita lagi nostalgia masa SMP kamu dulu yang suka disuapin kalau sarapan sebelum berangkat sekolah."
Rachel tersenyum, dia teringat jika dulu begitu manja pada sang ibu, dan seiring berlalunya waktu semua mulai berubah. Rachel harus dewasa, bersikap bijak untuk hidupnya sendiri, biarlah dia mengikuti alur yang seharusnya.
***
Malam ini tak ada bintang seperti malam-malam sebelumnya, langit pekat hanya diterangi cahaya bulan yang tak pernah absen menjadi pemimpin semesta kala malam tiba.
Laki-laki itu berdiri di balkon kamar seraya menatap foto Rachel pada kameranya, foto nan ia dapatkan sore tadi di Taman Pasupati.
Mungkin gila, tapi Leo terus saja tersenyum menanggapi foto yang tak bisa bicara itu, ia seakan melihat sesuatu menyenangkan di sana, padahal hanya foto gadis menengadahkan tangan kanan untuk merasakan sensasi rintik air hujan.
Intinya, apa saja yang berhubungan dengan Gardenia Rachel memang begitu menarik bagi Leo.
"Kesurupan apa lo, Bang? Kok cengar-cengir," cibir Ananta tiba-tiba muncul di belakang Leo, sialnya laki-laki itu lupa mengunci pintu, alhasil si perusuh bisa leluasa masuk tanpa penghalang.
Senyum di wajah Leo pupus dalam sekejap, laki-laki itu menurunkan kamera dan memutar arah menatap sang adik, Ananga menaikan sebelah alisnya, mengharap jawaban.
"Mending lo belajar, jangan ganggu," ucap Leo kentara tak suka dengan kehadiran Ananta.
Gadis yang tingginya hanya sebahu Leo itu berdecak sebal seraya memutar bola mata. "Gagal move on, ya? Makanya jangan bikin sakit hati orang, jadi enggak diputusin."
Leo benar-benar tak mengerti dengan keinginan adiknya, setiap hari gadis itu hanya bisa berbuat usil, inginnya Leo melakban mulut Ananta agar berhenti mencibir—terutama perihal hubungannya dengan Rachel.
"Mending keluar sana," pinta Leo seraya menunjuk pintu kamar nan sudah terbuka lebar, "harusnya gue pasang ayat suci biar setan nggak pada masuk kamar gue."
"Maksudnya Nanta ini setan, Bang? Kejam lo!" Ananta bersidekap dada. "Makanya, jangan jadi manusia bodoh yang ngelakuin hal sesukanya tanpa mikirin perasaan orang. Sekarang nyesel di belakang, kan? Emang enak!" Ananta menjulurkan lidah sebelum berlari keluar kamar saat melihat ekspresi merah padam dari Leo, gadis itu membanting pintu sebelum akhirnya terbahak menuruni tangga, ia suka segala hal yang membuat Leo kesal.
Leo mematung sejenak usai mendengar cibiran dari Ananta tadi, manusia bodoh?
Tiba-tiba Leo tertawa tanpa sebab, ia kembali mengangkat kamera dan menatap foto Rachel di sana.
"Gue manusia bodoh ya, Hel? Sebodoh itu sampai lepasin elo yang benar-benar berharga."
Leo terduduk di lantai, tangannya tiba-tiba lemas, ia meletakan kamera di pangkuannya. Memori di kepalanya kini menampilkan banyak hal lama yang bergeser seolah slide foto momen kebersamaannya dengan Rachel, semua itu mulai kembali menyiksa Leo luar dalam, rasa bersalahnya semakin menguat, tapi ia tak bisa berbuat banyak.
Gadis itu seolah menyerah terhadapnya, Rachel semakin jauh saja untuk diraih, sebab kesalahan Leo memang begitu fatal.
Tongkat mana yang bisa kembali diutuhkan dengan benar saat retak dan patah di banyak sisi?
"Segitu bodohnya ya, Hel. Segitu hinanya gue waktu itu, sekarang gue tahu gimana rasanya jadi elo, gue baru sadar." Leo menunduk seraya mengepalkan tangan. "Kalau waktu masih bisa diputar, gue nggak akan pernah lakuin semua itu dan bikin lo pergi, Hel. Maaf."
Jika masih ada kesempatan kedua, maka Leo akan maju diurutan pertama.
***
Yaquen?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayap-Sayap Patah (completed)
RomanceSekuel of 'Danke' Romance, angst. "Terbang setinggi yang lo mau, lari sejauh yang lo bisa. Senang dikasih kebebasan, 'kan? Tapi satu hal, saat lo capek nanti--nggak usah cari tempat buat lo pulang, karena dia udah capek buat mengerti segalanya, dan...