39. Night and Aurora.

2.2K 175 26
                                    

Jangan kau diam lagi, kutak sanggup menahan

Bicaralah oh sayang, jiwa ini tak tenang

Cinta jangan kau pergi, tinggalkan diriku sendiri

Cinta jangan kau lari, apalah arti hidup ini tanpa cinta dan kasih sayang

Sendu mata itu terpaku, fokusnya seolah mengabur saat manusia yang ditatapnya tampak berubah wujud menjadi sosok gadis kesayangan, penyanyi kafe yang sibuk melantunkan tembang lawas milik Sheila Majid itu sanggup membius banyak orang. Selain suaranya yang lembut, rupa pun tak kalah cantik.

Namun, namanya bukan Gardenia Rachel, si penyanyi kafe adalah gadis berbeda yang masih ditatap tanpa kedip oleh Leo. Laki-laki itu duduk di sudut kafe seorang diri, hanya sebuah kopi late yang menemaninya malam ini setelah hujan turun sore tadi. Hujan yang membuat jalanan basah dan tergenang hingga orang-orang malas melangsungkan aktivitas di luar rumah, tapi Kafe Mutiara tetap saja ramai saat pelanggan sudah hafal di luar kepala jadwal Aurora manggung dengan segudang pesonanya.

Kesadaran Leo baru kembali saat riuh tepuk tangan memenuhi penjuru kafe usai Aurora mengakhiri masa panggungnya, Leo berdecak kesal karena gadis yang dilihatnya ternyata bukan Rachel, sebab ia terbiasa melihat mantan kekasihnya selalu bernyanyi di kafe. Sekarang gadis itu seperti bayangan yang selalu ikut ke mana pun Leo pergi, menjadi penguntit nan piawai mengusik hati.

Leo menyandarkan punggung pada bahu sofa, ia meraih secangkir late yang masih utuh, krim terlihat dibentuk seperti love retak di bagian tengah. Sialnya semua itu memang menggambarkan perasaan Leo, ia meneguk late sebelum menyeka sisa krim di bawah hidung menggunakan ibu jarinya.

"Hai," sapa gadis yang tiba-tiba duduk di sebelah Leo, gadis nan sempat membuat Leo terpaku tadi—meski dalam pikirnya adalah Rachel.

"Hai," sahut Leo datar, ia menatap lekat gadis itu sejenak sekadar memastikan jika wajahnya takkan berubah menjadi Rachel seperti tadi.

"Kok kayak gitu ngelihatnya? Ada yang aneh sama aku?" tanya Aurora begitu peka dengan tatapan penuh minat dari Leo.

Buru-buru Leo mengalihkan pandang seraya mendengkus. "Sori, gue pikir lo mirip seseorang. Ternyata enggak sama sekali."

"Mirip siapa?"

"Bukan siapa-siapa." Leo kembali meneguk late muliknya hingga habis.

Diam-diam Aurora mengamati Leo penuh minat, pahatan yang diciptakan oleh Tuhan di sana terlihat sempurna bagi Aurora. Setiap lekuk wajah Ganindra Leo membuat gelenyar aneh dalam tubuh Aurora mulai terusik, mungkinkah ia tertarik dalam sekali pandang saja?

Sudut mata Leo melirik gadis itu, ia pun berdeham karena tak ada kedipan di mata Aurora. Leo yang biasanya seolah menikmati setiap tatap kekaguman dari perempuan, kali ini terlihat tak nyaman.

"Ada yang aneh di gue?" tanya Leo to the point, ia menegapkan duduknya seraya mengernyit pada Aurora yang kini salah tingkah, gadis itu sampai menggaruk kepala dan tersenyum masam.

"Nggak gitu, aku udah sering manggung di sini, tapi baru lihat kamu. Orang sini asli atau baru datang?"

"Rumah orangtua emang di dekat sini, kalau gue kuliah di Jakarta. Sekarang lagi libur," jelas Leo.

Aurora manggut-manggut, gadis berambut pirang sebahu itu tak ingin mengalihkan pandang dari lekuk wajah Leo, caranya bicara juga membuat Aurora mulai pusing setengah mati ditambah aroma parfum nan melekat di tubuh si pria, semua seperti paket komplit dari sesuatu yang disebut sempurna.

"Habis ini mau ke mana?" tanya Aurora, ia memberanikan diri agresif.

"Pulang, kenapa?"

"Emangnya arah rumah orangtua kamu ke mana?"

Sayap-Sayap Patah (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang