"Gue minta maaf ya, Hel." Raka merengkuh tubuh gadis di depannya, ia begitu menyadari kesalahan besar yang hampir saja diperbuat, Raka hanya kalap karena rasa cemburu berlebihan. Ia tak ingin Rachel berhubungan lagi dengan Leo, sama sekali tak ingin.
Mereka masih berada di kamar tamu vila.
Gadis itu bergeming, wajahnya sembap setelah cukup lama menangis di kamar tamu vila orangtua Raka. Berbagai bayangan masa lalu membuat Rachel teriris pedih, ia takut dengan semua nan pernah terlewati, bayang-bayang perihal dirinya dan Leo memang tak bisa disingkirkan, lantas mengapa Raka justru yang menghadirkan?
"Harusnya gue nggak kayak gitu, Hel. Lo boleh pukul gue, lo mau apa terserah. Tapi, jangan minta akhiri kita, gue nggak mau," lirih Raka yang kini menyembunyikan wajahnya di caruk leher Rachel, ia mengusap rambut halus gadis itu—membiarkan empunya meneteskan air mata lagi meresapi patah hati. "Gue janji nggak akan kayak gitu lagi, Hel. Maaf ...."
Bahu Rachel bergetar, tangisannya makin kuat hingga ia sesegukan. "Antar gue pulang, Raka. Gue mau pulang sekarang."
"Hel ...." Raka mengurai peluk, ia menyentuh sepasang bahu Rachel dan menatap pemiliknya lekat-lekat. "Jangan nangis lagi."
Rachel menggeleng, ia menunduk. "Gue mau pulang, Raka."
"Iya, kita pulang."
***
Begitu sampai di depan gerbang rumah Rachel, mobil Raka menepi, gadis itu bergegas turun tanpa bahasa. Rachel keluar saja tanpa bertutur kata, ia hanya benar-benar merasa remuk sekarang. Rachel ingin sendirian, saat Raka ikut turun dari mobil dan menyerukan namanya pun Rachel enggan menoleh, gadis itu terus melangkah melewati halaman rumah setelah mendorong gerbang, air matanya kembali jatuh.
Raka mengacak rambut frustrasi, ia bahkan menendang gerbang sebelum mengerang kesal. Laki-laki itu memutuskan pergi, ia membiarkan Rachel tenang sejenak setelah kebodohan yang hampir saja Raka lakukan di vila tadi, ia sadar kalau Rachel pasti teramat kecewa.
Rachel masuk kamar dan mengunci pintu, untung saja orangtuanya belum pulang sore itu. Kini ia bebas kembali menumpahkan air mata setelah merebah tubuh di ranjang—menutupi wajahnya menggunakan bantal, Rachel cengkram kedua sisi bantal yang kini lusuh oleh tangan-tangan kurusnya.
Rachel melempar bantal nan sempat menutupi wajah ke lantai, tampak basah bekas air mata di permukaan benda empuk tersebut. Rachel beranjak duduk seraya mengeluarkan ponsel dari saku celana, ia ingin menghubungi Kenta dan Aileen, tapi ragu hinggap lebih cepat.
Jika Rachel berkisah perihal sikap Raka tadi, apa dua gadis itu akan mengerti perasaannya. Rachel hanya tahu kalau mereka begitu mendukung hubungannya dengan Raka, lantas ia harus mengatakan semua itu pada siapa, Rachel sakit sendirian.
Ia kembali merebah tubuh, ia meletakan ponselnya di dada seraya menatap langit-langit kamar nan membisu, andai setiap hal yang ia miliki bisa diajaknya bicara. Andai ia bisa mengubah setiap benda kesayangannya agar bisa bergerak, jadi Rachel tak perlu berbagi rasa sakit dengan orang lain, sebab belum tentu mereka juga akan mengerti.
Ponsel Rachel berdering, gadis itu menatap layar yang menampilkan nomor Raka menghubunginya. Namun, Rachel enggan mengangkat panggilan tersebut dan memutuskan mengakhiri sebelum non-aktifkan ponsel.
***
"Sial!" Raka melempar ponselnya ke ruang kaki di bawah kemudi, ia benar-benar kesal saat nomor Rachel tak lagi aktif. Pasti gadis itu sengaja menghindar karena marah.
Raka menghela napas berat, dada terasa benar-benar sesak menyikapi kebodohannya, mobil sudah memasuki area perumahan sang paman yang ia tinggali, mobil baru saja berhenti di depan gerbang disusul pemiliknya keluar menampilkan ekspresi keresahan begitu kental. Ia melihat mobil Leo berada di halaman rumah, dan Raka ingin melakukan sesuatu yang sudah ditahannya sejak berada di Taman Begonia.
"Bang Raka?" Ananta cukup terkejut ketika ia duduk di ruang tamu seraya memainkan ponsel tiba-tiba mendapati Raka masuk rumah tanpa izin, raut amarah kentara di wajah laki-laki itu.
"Leo mana?" tanya Raka to the point, ia menyugar rambut saat Ananta bergerak mendekat.
"Ada di kamar, kenapa emang? Abang kok kayak marah gitu ya."
Raka tak mengucap apa-apa, ia berlanjut menuju kamar yang dimaksud Ananta.
"Abang mau ngapain?" tanya Ananta sembari mengekor di belakang Raka, gadis itu makin dibuat bingung sekarang.
Raka tetap bergeming, beruntungnya Leo baru saja keluar dari kamar. Laki-laki itu cukup terkejut menanggapi kehadiran Raka yang kini berdiri di depannya.
"Kenap—"
Bugh!
Raka tak bisa lagi membendung emosi yang terus memuncak, ia tak terima jika Leo terus saja mendekati Rachel.
Leo makin terkejut ketika wajahnya dipukul, ia yang sempat mundur beberapa langkah kini maju lagi. "Kenapa lo pukul gue?"
Bugh!
"Bang Raka! Jangan!" pekik Ananta saat Raka tiada henti memukul sang kakak, Leo sama sekali tak melawan.
"Karena lo pantas dapetin ini! Lo yang buat Rachel marah sama gue, berhenti deketin Rachel!" Raka membiarkan tubuh Leo yang sudah dipukulinya tersungkur di lantai, temannya itu tampak meremas perut nan terasa nyeri setelah tinju bertubi-tubi. "Jauhi Rachel. Kita emang teman, tapi buat urusan perasaan gue nggak mau berbagi buat siapa-siapa. Dia udah pernah jadi punya lo, sekarang biarin dia tenang buat gue," pungkas Raka sebelum bergerak pergi meninggalkan Leo yang tetap memilih bergeming, Ananta baru berani menghampiri Leo, ia membantu kakaknya duduk setelah Raka pergi.
"Jangan bilang soal ini ke mama sama papa," tutur Leo menatap adiknya, mereka pun berdiri.
"Kenapa, Bang? Kenapa juga Bang Raka marah kayak gitu."
"Udah, nggak usah ikut campur. Ini urusan gue sama dia." Leo memutuskan masuk kamar dan mengunci pintu, ia tak peduli dengan Ananta saat terus mengetuk dari luar kamar seraya meneriakan namanya.
***
Andai aku bisa
Memutar kembali
Waktu yang telah berjalan
Tuk kembali bersama di dirimu, selamanya
Bukan maksud aku
Membawa dirimu
Masuk terlalu jauh
Ke dalam kisah cinta, yang tak mungkin terjadi
Dan aku tak punya hati, untuk menyakiti dirimu
Dan aku ... tak punya hati tuk mencintai, dirimu yang selalu mencintai diriku, walau kau tahu diriku masih bersamanya
Suara petikan senar gitar mengalun sendu bersama suara Rachel yang ikut terhanyut, perasaannya tengah kacau untuk menghadapi hari ini. Gadis itu duduk bersila di lantai balkon kamar yang dingin, ia memangku gitar—membiarkan angin malam berembus menggelitik setiap centi kulit tubuh yang hanya dibalut kaus kutung serta hot pants.
Rachel pikir ia akan menikmati masa liburan yang tenang selama di Bandung, tapi kenapa beberapa orang masih saja membuatnya patah, padahal Rachel tengah berupaya mengutuhkan lagi kepingan-kepingan yang sempat remuk di dalam dirinya.
Apa mereka pikir mengutuhkan lagi sesuatu yang hancur itu mudah? Bahkan bekas pecahannya pun tak akan hilang, tapi orang-orang membuatnya seolah makin remuk saja hingga Rachel sulit mencari mana yang masih bisa disatukan atau tidak.
Dan aku tak punya hati, untuk menyakiti dirimu, dan aku tak punya hati untuk mencintai dirimu yang selalu mencintai diriku, walau ... kau tahu diriku, masih bersamanya.
Rachel masih terusik dengan bayang masa lalu yang seolah berlalu-lalang di depan mata, CD lama di kepala gadis itu kini berputar pelan—menyortir berbagai macam kenangan nan telah terlewat.
Terkadang, kenapa mencintai seseorang harus sesakit itu?
***
Sekarang mau Leo apa Raka?
Mau Pawat aja (♡˙︶˙♡)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayap-Sayap Patah (completed)
RomanceSekuel of 'Danke' Romance, angst. "Terbang setinggi yang lo mau, lari sejauh yang lo bisa. Senang dikasih kebebasan, 'kan? Tapi satu hal, saat lo capek nanti--nggak usah cari tempat buat lo pulang, karena dia udah capek buat mengerti segalanya, dan...