37. Mirror.

1.6K 166 30
                                    

"Gimana sama Explore Bandung?" tanya Karang tiba-tiba masuk kamar Leo saat pintu tak tertutup, sedangkan empunya sedang duduk di ranjang seraya membersihkan lensa kamera setelah beberapa waktu lalu sedikit basah oleh air hujan.

"Ya kayak gitu aja, rame, namanya juga komunitas," sahut Leo tanpa beralih fokus dari kamera, ia diam saja ketika Karang akhirnya duduk di dekatnya seraya meneguk segelas kopi buatan sendiri. Meskipun ada pembantu di rumah, tapi Karang tak lagi suka jika bukan kopi buatan Pelita, sayangnya wanita itu tengah melangsungkan shift malam di rumah sakit, jadilah Karang membuat kopi sendiri.

"Mau kopi?" tawar Karang.

Anak laki-lakinya menoleh menatap jam weker di nakas sebelum akhirnya menggeleng. "Jam segini ngopi, emangnya Papa ada lembur kerjaan sampai jam sepuluh malam bikin kopi? Mau lemburin mama tapi nggak ada ya." Leo terkekeh geli.

Karang yang kembali meneguk kopinya tiba-tiba terbatuk usai mendengar penuturan sang putra. "Ya enggaklah, emang pengin ngopi aja, sekalian ngobrol sama kamu."

Leo menaikan sebelah alisnya seolah tak percaya dengan jawaban sang ayah, tapi setelahnya dia manggut-manggut. "Oh ya, boleh aku tanya sesuatu?"

"Tanya aja." Karang beranjak meletakan gelas berisi sisa kopi ke permukaan nakas, ia kembali—melepas sandalnya sebelum berbaring di ranjang empuk Leo seraya menggunakan kedua tangan sebagai bantalan, ia membiarkan Leo melanjutkan urusan bersih-bersih kamera.

"Kenapa Papa sama mama nikah muda?" Leo mengangkat kamera setelah ia bersihkan, matanya tampak meneliti berbagai sisi.

"Nikah muda? 25tahun nggak bisa disebut nikah muda, kecuali di bawah 22tahun, itu usia normal, Leo. Apalagi papa nikahin mama kamu pas udah lulus kuliah sama belajar cari nafkah.

"Kenapa tiba-tiba tanya nikah muda? Apa kamu ada kemauan buat nikah muda? Papa nggak akan kasih restu."

Jleb!

Leo lantas menoleh dan meletakan kamera di pangkuannya, kalimat terakhir yang terlontar dari bibir Karang membuatnya mengerutkan kening.

"Kalau iya, kenapa nggak dikasih restu? Apa alasannya?"

Karang beranjak, lantas bersila di sebelah Leo, ia menepuk bahu sang putra seraya tersenyum miring. "Kalau nafkah, papa yakin kamu bisa. Tapi, komitmen itu bukan soal harus secepat apa bisa sama-sama, matangkan dulu pikiran sebelum maju lebih jauh, Nak."

Satu hal yang selalu Leo sukai adalah karakter Karang begitu bijak, jika Leo bisa lebih lama bersua dengan sang ayah di Bandung mungkin lebih banyak hal baik bisa Leo dapatkan dari pria itu, tapi ruang dan waktu pasti memisahkan kebersamaan mereka nanti.

"Boleh Leo tanya lagi, mungkin ini emang kayak anak kecil, tapi papa tahu artian gagal move on?"

Karang terbahak hingga memukul bahu Leo beberapa kali, ia benar-benar merasa anak sulung nan telah menginjak usia kepala dua itu seperti anak kecil di bawah sepuluh tahun, terkadang Leo bisa sepolos itu jika bertanya.

"Move On dari siapa? Rachel?"

Leo enggan menjawab, ia memutuskan turun dari ranjang seraya meraih kamera dan menghampiri lemari sebelum meletakan benda itu ke dalam kotak khusus di sana.

Leo juga menutup jendela kaca kamar nan sempat ia buka sejak sore, AC kamar sengaja tak dinyalakan saat udara alami merasuk ke ruangan didominasi warna putih tersebut.

"Papa nggak bisa ngomong apa-apa, setiap orang punya rasa sama pemikiran masing-masing, kamu sudah dewasa dan bukan papa lagi yang berhak atur, tapi diri kamu sendiri. Jangan mengedepankan ego, Nak. Tapi juga jangan terlalu mengalah, kamu diciptakan sebagai laki-laki yang harus selalu maju, tapi kamu juga perlu mundur kalau takdir ternyata nggak berpihak buatmu, jadilah anak laki-laki yang bisa papa banggakan kelak," jelas Karang panjang lebar sebelum beranjak meraih gelas kopi dan beringsut keluar kamar, setidaknya ucapan itu membuat Leo tertegun di tempatnya, ia menelan saliva susah payah.

Leo menghampiri lagi lemari, ia berdiri tepat di depan kaca seukuran dengan tinggi tubuhnya. Leo bisa melihat semua, siapa dirinya persis di cermin tanpa satu pun yang hilang.

Namun, mungkinkah cermin bisa menampilkan sesuatu nan terletak di sudut hati Leo? Sesuatu yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang?

Laki-laki itu menghela napas panjang, semua mulai sesak dirasakan. Sekarang Leo mulai memahami dirinya, bukan laki-laki yang banyak orang sebut sempurna, ia tak sempurna sama sekali. Paras serta postur tubuh lebih dari orang lain tak selalu menandakan jika seseorang sempurna, tampan rupa juga tak menjanjikan apa-apa. Sekarang bicara perihal jati diri dan hati, mana yang perlu Leo benahi agar ia menjadi manusia yang lebih baik lagi.

Kalimat bijak sang papa selalu bisa menembus batin Leo sekalipun mereka jarang sekali membicarakan sesuatu yang penting, tapi sekalinya Karang berbicara, semua membuat Leo memutar pemikirannya.

"Kamu diciptakan jadi laki-laki yang harus selalu maju, tapi kamu juga perlu mundur kalau takdir ternyata nggak berpihak buatmu." Potongan dialog itu masih terngiang di kepala Leo, berputar tiada henti seolah menyadarkan empunya agar memahami sesuatu. Agar ia terbangun dari ilusi yang dibuatnya.

Leo menunduk. "Harus mundur aja gitu? Tapi, Leo yakin kalau Rachel bakal pulang lagi. Rasanya nggak bisa terima kalau Rachel buat orang lain, ego Leo masih setinggi ini, pa. Maaf belum bisa berpikir dewasa seperti yang papa mau, dan Leo nggak mungkin bisa jadi laki-laki yang papa banggakan kelak, Leo terlalu bodoh buat paham semuanya." Ia menyadari kekonyolannya sekaligus arti lain dari keteguhan hati untuk tetap bertahan dan mengejar.

Laki-laki itu memutar tubuhnya hingga memutuskan duduk di sisi ranjang, ia menyugar rambut seraya mendengkus kasar. Akhir-akhir ini terlalu banyak hal baru mengisi pikiran dan membuatnya tak bisa bersantai sedikit saja, percuma jika tubuh bisa diajak merebah—jika otak tak bisa berhenti memikirkan setiap masalah.

Dering ponsel nan tergeletak di permukaan nakas membuyarkan lamunan Leo, ia berdecak sebelum beranjak meraih ponselnya. Lebih kesal lagi saat nama Natasha tertera di layar ponsel, Leo bahkan tak ingat sama sekali kalau Natasha masih berstatus kekasihnya, akhir-akhir ini juga tak ada komunikasi antara mereka, dan Leo semakin tak acuh dengan urusan perempuan itu. Natasha seperti tak pernah datang ke dalam hidupnya.

"Leo, kamu nggak kangen apa sama aku? Diam aja, apa udah nemu cewek yang baru?" cerocos Natasha begitu Leo mengangkat panggilannya.

Leo meraup wajah, ia merebahkan tubuhnya di ranjang, kenapa jika mendengar suara Natasha seolah suasana mengajaknya untuk emosi saja.

"Nat, kita sama-sama sibuk. Elo pasti masih ngurus job pemotretan, kan? Gue juga di sini punya urusan sendiri."

"Oke, tapi jangan kaget ya kalau kapan-kapan aku bakal muncul di depan pintu rumah kamu."

Leo mengerutkan kening. "Ngapain? Nggak usah repot-repot ke sini, lo di situ aja. Nanti liburan kelar juga gue di Jakarta lagi."

"Mau ketemu papa sama mama kamu. Aku mau kasih surprise ke mereka."

"Surprise apaan?"

"Nanti juga tahu, karena udah malam mending tidur. Besok masih banyak job lagi, selamat malam, Ganindra Leo."

"Hm." Leo mengakhiri panggilan tersebut sepihak, ia juga tak ingin memusingkan atau menerka perihal kejutan apa yang ingin Natasha bagi nanti, Leo merasa tak ada yang penting tentang gadis itu.

***

Sayap-Sayap Patah (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang