Mobil Leo telah menepi di sisi jalan dekat kost Rachel, gadis itu bersiap turun, tapi tangan Leo menahan bahunya—membuat Rachel mengurungkan niat, ia menoleh pada laki-laki yang kini tersenyum tipis."Apa lagi? Udah malam, gue capek mau istirahat," ujar Rachel.
"Iya gue tahu, cuma ini aja kok." Leo mencondongkan tubuhnya seraya mengusapi wajah Rachel sebelum mengecup bekas pukulannya pagi tadi. "Maaf ya."
Rachel diam, ia membalas tatapan itu sejenak—sebelum membuka pintu mobil, saat Rachel telah turun dan melangkah menghampiri pintu gerbang kost ternyata Leo ikut turun dan mengekor di belakangnya. Rachel menghentikan langkah, tangannya menyentuh besi gerbang kost dengan tinggi sebatas dada gadis itu.
"Apa lagi?" Jujur, Rachel malas berurusan dengan makhluk itu. Ia bersidekap menatap Leo yang tampak membuka chat pada ponsel nan baru dikeluarkannya dari saku celana.
"Besok gue nggak masuk kampus," ucap Leo seraya memasukan lagi ponselnya ke saku celana.
"Kenapa?"
"Mau pergi."
"Sama cewek lo yang lain?" Rachel tersenyum miring.
"Hel—"
"Ya udah sana, emangnya gue peduli." Rachel memutar tubuh, tapi bahunya disentuh Leo, segera gadis itu tepis seraya mendorong gerbang agar terbuka.
"Hel, kita bicara sebentar aja," cegah Leo saat Rachel mengunci gerbang, kini gerbang menjadi batas antara keduanya.
"Terbang setinggi yang lo mau, lari sejauh yang lo bisa. Senang dikasih kebebasan, kan? Tapi satu hal, saat lo capek nanti—nggak usah cari tempat buat lo pulang, karena dia udah capek buat mengerti segalanya, dan yang lo harus ingat saat itu adalah ... semesta udah sangat benci sama lo, termasuk gue, Leo."
"Hel, kenapa lo bilang kayak gitu? Lo mau tinggalin gue? Nggak mungkin, Hel!" Wajah cemas Leo begitu kentara, kedua tangannya meremat besi gerbang.
"Gue capek, Leo! Sabar juga ada batasnya!" pungkas Rachel sebelum berlari menghampiri deretan kamar kost, ia tak peduli dengan seruan Leo saat terus menyebut namanya berkali-kali. Rachel bergerak cepat merogoh kunci dari ransel sebelum menancapkannya pada lubang pintu dan memutar dua kali hingga terbuka, ia masuk ke kamar kost nomor lima, di bagian pintu juga tertulis nama Rachel yang dibuatnya dengan kertas pelangi.
"Hel! Lo nggak bisa tinggalin gue!" teriak Leo yang masih setia berdiri di balik gerbang, ia meremas rambutnya frustrasi sebelum kembali ke mobil dan melaju pergi.
Sedangkan Rachel masih berdiri di balik pintu kamar, ia meremat kerah jaket jeans yang dipakainya dengan tangan kanan, tangan lain mengepal kuat sebelum memukul pintu di belakangnya beberapa kali. Rachel menangis, lagi.
Saat orang lain sibuk mengasihi dirinya, kenapa Leo terus saja menambah luka, membuat beban Rachel kian berat. Andai Rachel bisa membuat dunia sendiri—dunia tanpa ada Leo sama sekali. Andai Rachel memiliki seorang makhluk pantomim yang bisa menghibur dirinya kala sakit hati, andai Rachel bisa bebas seperti camar yang terbang ke sana kemari, ia ingin sendiri.
Mungkin Tuhan sengaja mempertemukannya dengan sosok Leo yang membuat gadis itu belajar tentang rasa sabar cukup besar, mengalah, tahu diri dan buta hati. Ya, mungkin Rachel harus membutakan segala-galanya demi menghadapi seorang Ganindra Leo, demi makhluk yang tak mengerti keinginannya.
Jika tak butuh lepaskan, bukan dipertahankan lalu disakiti lebih dalam. Andai saja terlihat, darah dari luka-luka akibat tertusuk di belakang begitu jelas—pasti tercecer di mana-mana, sebab Rachel selalu membawa setiap luka tanpa tahu bagaimana menyembunyikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayap-Sayap Patah (completed)
RomanceSekuel of 'Danke' Romance, angst. "Terbang setinggi yang lo mau, lari sejauh yang lo bisa. Senang dikasih kebebasan, 'kan? Tapi satu hal, saat lo capek nanti--nggak usah cari tempat buat lo pulang, karena dia udah capek buat mengerti segalanya, dan...