47. Anomali.

1.9K 178 39
                                    

Kepala itu menengadah, wajahnya basah. “Leo, lakuin aja. Bukannya yang selama ini lo mau dari gue emang itu, kan?”

Leo menatap nanar wajah gadis yang masih duduk di tepian ranjang, ia yakin telinganya masih berfungsi baik saat Rachel mengatakan persetujuannya. Dalam mimpi pun Leo tak pernah menerka kalimat seperti itu mampu terlontar dari bibir Rachel sendiri.

Ada jeda waktu bagi Leo memahami segalanya, setiap khayal yang ia angankan di masa lampau kini hanya tinggal selangkah agar terwujud. Memang konyol, tapi Leo tengah menghadapi kenyataan, hanya saja tiba-tiba rasa skeptis itu hinggap saat wujud yang ia harapkan benar-benar nyata.

Rachel masih bertahan di sana, tentu saja dengan wajah basah yang belum sanggup ia samarkan saat rasa sakit bagian terdalam semakin menggerogoti tiap jengkal tubuhnya. Gadis itu beranjak, menunduk seraya mengepalkan kedua tangan erat.

“Ini kan yang lo mau? Nggak perlu tunggu waktu lagi, kita bisa selesaikan sekarang,” ucap Rachel seperti bukan dirinya, bukankah selama ini gadis itu selalu menolak mentah-mentah hingga ia memilih menyerahkan Leo pada perempuan lain?

Lalu, tiba-tiba malam ini keputusan Rachel mulai berputar arah, mulai tak sejalan dengan keyakinannya sejak dulu.

“Ayo lakukan. Jangan diam terus di sana, buktikan semua,” ucap Rachel saat Leo masih saja diam seolah belum bisa memahami keseluruhan skenario malam ini. Leo yakin ada yang salah dengan itu, ia memutuskan beranjak dan tertawa mirip orang gila.

“Mana mungkin, Hel. Mana mungkin.” Ia memutar tubuh menghadap tembok sebelum memukulnya berkali-kali hingga kulit nan membungkus tulang jemari kanan Leo benar-benar memar. “Masuk kamar mandi! Jangan biarin setan ini ngerusak elo, Rachel!”

“Setan apa!” Gadis itu ikut membentak, ia maju dan menarik lengan Leo hingga laki-laki itu menghadapnya dengan wajah putus asa. “Setan yang mana! Lakukan kalau elo emang laki-laki, turutin apa kata mereka atau elo mau gue yang habis sama mereka? Itu yang lo mau? Oke, gue keluar panggil mereka sekarang.” Rachel melepaskan lengan Leo, ia bersiap menarik kenop pintu, tapi tangan Leo lebih gesit menarik Rachel dan memaksakan tubuh yang harusnya kini benar-benar menjauhi tanda bahaya—justru merengkuh perut Rachel dari belakang.

“Jangan, Hel. Gue nggak akan pernah rela, gue lebih baik mati daripada lihat elo habis sama mereka.” Leo menunduk menyembunyikan wajahnya di caruk leher gadis itu. “Gue emang mau elo, Hel. Gue mau dari dulu, tapi—”

“Tapi apa, bajingan!” Rachel melepas paksa tangan yang melingkari perutnya sebelum memutar tubuh dan mendorong Leo hingga membentur tembok di belakangnya. “Ini yang lo mau! Nggak usah munafik!” Tanpa aba-aba tangan Rachel mulai sibuk melepas kancing nan menghubungkan sling bahu dengan bagian atas baju kodoknya, kini Rachel mulai menaikan t-shirt seraya menatap Leo penuh amarah, sepertinya Rachel lebih cepat kehilangan kewarasannya ketimbang sang singa.

“Nggak gini, Hel!” Leo mulai tersulut emosi, ia menarik tangan Rachel supaya berhenti meloloskan kaus melewati lehernya.

“Jangan munafik!” pekik Rachel, detik berikutnya bibir telah dibungkam tangan kanan Leo. Ia mendorong Rachel hingga tubuhnya membentur tembok.

“Iya. Gue emang munafik, gue mau tubuh lo dari lama, tapi pas lo kasih sukarela malah kayak gini. Lucu ya gue.” Leo tertawa hambar seraya menunduk. “Bangsat banget sih gue, jadi pengecut di depan elo.” Leo menengadah, ia meluruhkan tangannya dari bibir Rachel, terlihat dada gadis itu kembang kempis cukup cepat, keringat juga mulai menetes di keningnya bersamaan deru napas belum stabil.

“Rachel, ternyata yang gue mau dari elo bukan itu.” Tangan Leo mengusap keringat gadis di depannya. “Ternyata bukan itu, nggak akan bisa abadi.” Leo memutar arah mencari sesuatu di permukaan nakas—bahkan pada tiap-tiap laci di sana hingga barang yang ia harapkan memang ada; sebuah cutter.

Sayap-Sayap Patah (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang