***
Dokter Arnold baru saja masuk ke ruang rawat Raka usai merampungkan rekam medis bersama suster di ruang kerjanya, Raka baru saja melangsungkan medical check luka jahitan di bagian perut kiri setelah operasi cangkok ginjal tiga bulan lalu, ia mendonorkan satu ginjalnya untuk sang ayah yang mengalami gagal ginjal kronis.
Tak ada yang tahu perihal operasi itu selain pihak keluarga. Teman-teman Raka pun tak ada yang tahu, ia juga tak berniat memberitahu Rachel, biar semua jadi privasi hidupnya sendiri.
Raka memang masih harus sering melakukan cek bekas luka operasi itu, harusnya dia beristirahat selama 3-8minggu pasca operasi, tapi Raka memikirkan urusan kuliah hingga ia terpaksa menentang aturan yang dokter berikan, dan beberapa hari ini bekas luka tersebut terasa nyeri.
"Saya sudah katakan kalau kamu jangan melakukan aktivitas berat, atau ... berkelahi, Raka." Dokter Arnold membenarkan letak kacamatanya, ia meliihat rekam medis milik Raka. "Jangan ceroboh Raka, walaupun ini nggak berbahaya."
Raka nan terbaring di ranjang rumah sakit tampak menerawang, ia ingat kalau memukul Leo kemarin, tapi sepertinya Leo tak membalas satu pun pukulannya. Mungkin ia memang terlalu ceroboh untuk melakukan sesuatu hingga berakibat pada luka jahit di perutnya itu.
"Maaf, saya nggak akan ceroboh lagi, Dok." Raka menghela napas panjang, ia tak pernah takut akan kondisi fisiknya pasca operasi, Raka hanya takut perihal kondisi sang ayah. Pria itu masih melangsungkan cuci darah usai operasi meski setelahnya akan berhenti saat ginjal baru milik Raka telah berfungsi dengan baik di tubuh Erga—ayah Raka.
"Oke, saya kasih obat pereda nyeri lagi buat kamu. Ingat ya, dengarkan apa yang saya katakan, Raka. Semua baik-baik aja." Dokter Arnold melenggang keluar dari ruang rawat Raka, kini laki-laki muda itu meraih ponsel dari permukaan nakas sebatas menatap wallpaper cantik yang menghiasi layar ponselnya. "Gue kangen sama elo, Hel."
Raka hanya yakin kalau hari-harinya jelas berbeda setelah Rachel mengakhiri hubungan mereka dengan kata 'break', semua itu bukanlah hal mudah bagi Raka. Ia merasa telah melepas gadis itu cukup jauh.
Namun, tak banyak pula yang bisa diperbuatnya, Raka tak ingin memaksa apa-apa. Mungkin Rachel benar, hubungan yang manis akan terjalin jika keduanya sama-sama memahami perasaan masing-masing, dan Raka belum begitu memahami Rachel sebab pernah begitu terluka di masa lalu.
Rachel ingin dihadapi dengan rasa sabar yang besar, bukan emosi mengakar.
"Gue sayang sama elo, Hel. Besok atau lusa juga masih sama kok, ini susah hilang. Jangan jadiin break sebagai alasan kalau lo mau pergi selamanya, jangan pernah ... gue nggak mau." Raka meletakan lagi ponselnya di nakas, ia menatap langit-langit bercat putih di atas sana. Matanya menerawang jauh, sebulan lebih bagi Raka benar-benar berarti banyak, gadis yang lama diimpikannya selalu berada di sisi.
Lantas sekarang, sosok itu seolah ilusi yang takkan mati.
Raka memejamkan mata, mencoba meresapi banyak hal nan pernah terjadi antara dirinya serta Rachel meski sesingkat itu, meski tak banyak purnama berlalu.
"Raka."
Suara lembut tersebut membuat Raka membuka mata, ia mendapati Glori—ibunya—masuk ruang rawat sendirian, wanita itu memasang raut cemas.
"Mama." Raka beranjak duduk dan menyandarkan punggung, ia menerima pelukan pelan sekaligus hangat dari sang ibu, pelukan yang begitu berhati-hati agar tak menyentuh bekas operasi di perut sang putra.
"Maaf kalau mama baru datang, Ka. Kenapa kamu nggak bilang kalau pulang dari Bandung, bukannya ke rumah malah langsung ke rumah sakit." Glori melepas pelukannya, ia menangkup wajah sang putra yang sedikit pucat. "Papa baik-baik aja, kemarin cuci darah terakhirnya. Makasih banyak."
Raka mengangguk. "Raka juga nggak apa-apa kok, Ma. Semua baik-baik aja."
"Maaf karena udah bikin kamu berkorban banyak, Raka. Mama nggak tahu harus apa." Air mata tiba-tiba keluar dari sudut mata sang ibu, wanita itu menyesali banyak hal.
Pertama, hubungannya dengan Erga—ayah kandung Raka—memang sudah setahun terakhir tidak baik-baik saja, Raka serta Reina memiliki seorang ayah tiri yang kini tinggal di tempat berbeda dengan Glori.
Erga dan Glori sudah berpisah sejak setahun lalu, lima bulan setelahnya Glori menikah lagi meskipun mantan suaminya tengah mengalami sakit parah.
Selama ini teman-teman Raka tak pernah tahu keadaan asli keluarga laki-laki itu, sebab Raka juga tak pernah mengatakan perihal konflik keluarga, ia merasa semuanya menjari bagian privasi yang tak perlu diumbar.
Kedua, Glori memaksa Raka mendonorkan ginjalnya untuk sang mantan suami, untung saja Raka bersedia secara sukarelamau, ginjal mereka cocok, jadilah operasi cangkok ginjal antara Raka dan Erga berlangsung. Lagipula tak ada hal buruk yang dijamin tim medis untuk pendonor pasca operasi.
Ketiga, Glori tak bisa lagi mengurus kedua anaknya setelah mereka tak tinggal serumah. Raka hanya tinggal dengan Erga dan Reina selama setahun terakhir, ia mulai terbiasa melakoni hidup nan terasa pahit itu tanpa mengeluh pada siapa pun.
"Nanti Raka bakal langsung ke rumah kalau urusan di sini udah kelar, Mama tenang aja," ujar Raka berusaha menenangkan sang ibu, meskipun berpisah—bukan berarti ada rasa benci yang harus Glori sematkan pada Erga setelah pengkhianatan nan pria itu berikan, nyatanya setelah berpisah pun Erga masih single parent hingga hari ini tanpa menikahi wanita yang menjadi alasan hancurnya hubungan rumah tangga mereka.
"Kalau ada apa-apa, jangan lupa hubungi mama, ya, Ka. Mama takut sekali." Glori memeluk lagi tubuh lemas anak sulungnya, ia mengusapi punggung Raka perlahan.
"Tenang, Ma. Semua baik-baik aja, jangan terlalu dipikirin, nanti Mama sakit."
"Iya, maafin mama. Sekali lagi maafin mama, Raka."
Laki-laki itu bergeming, ia memejamkan mata seraya menyandarkan dagu di bahu sang ibu nan terasa begitu nyaman. Andai Raka masih bisa merasakan hal sederhana itu setiap hari, tapi semua seolah mustahil setelah mereka memiliki kehidupan masing-masing.
***
Sudah beberapa hari terakhir Bandung selalu diguyur hujan dengan intensitas tinggi, bahkan petir turut serta hadir mengusik ketenangan orang-orang. Untung saja masa liburan Kenta dan Aileen telah berakhir sebelum hujan turun setiap harinya.
Gadis itu mengenakan celana pendek dan sweater abu-abu oversize di tubuhnya, terlihat dari bagian bawah sweater menutupi sebagian paha Rachel serta lengan hingga pergelangan tangannya.
Tangan kanan Rachel memegang sebuah cangkir berisikan teh hangat kesukaan gadis itu, ia berdiri di balik jendela kamar dengan tirai sedikit terbuka.
Ia meniup uap teh nan menguar, ia menyesap sedikit seraya nikmati irama air hujan yang jatuh begitu derasnya menyentuh tanah kota Bandung sore itu, aroma petrichor cukup kentara.
Rachel tersenyum tipis, betapa ia rindu momen seperti ini di masa lalu.
Kalau dulu, Rachel sering sekali bermain hujan dengan teman-temannya, apalagi jika hujan turun saat jam pulang sekolah. Gadis itu sampai dimarahi sang ibu karena pulang telat hanya karena main hujan di tepi jalan, seragam pun dipenuhi lumpur.
"Kalau Rachel lahir di sini, mati pun maunya di sini, apa itu boleh?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayap-Sayap Patah (completed)
RomansaSekuel of 'Danke' Romance, angst. "Terbang setinggi yang lo mau, lari sejauh yang lo bisa. Senang dikasih kebebasan, 'kan? Tapi satu hal, saat lo capek nanti--nggak usah cari tempat buat lo pulang, karena dia udah capek buat mengerti segalanya, dan...