22. Like father, like son.

2.8K 222 15
                                    

Ternyata melupakan memang bukan sesuatu yang instan, tak bisa dipastikan sesuai harapan. Buktinya Leo yang kini diam memangku laptop di beranda belakang rumah besarnya itu ternyata tengah menonton mantan kekasihnya ketika bersenandung di acara ulang tahun Alan setahun lalu, gadis nan mengenakan dress putih duduk pada sofa navy seraya memetik senar gitar di pangkuannya, dan ekspresi penghayatan dari Rachel benar-benar natural.

Leo mendesah panjang, apa ia harus amnesia saja agar mampu melupakan Rachel dengan mudah?

Sebisa mungkin Leo berusaha lupa, ternyata ia semakin tenggelam dalam bayangnya. Apa Leo harus menganggap Rachel sebagai sosok mantan terindahnya sekarang?

Selama, jantungku masih berdetak

Selama itu pula engkau milikku

Selama darahku masih mengalir

Cintaku pasti takkan pernah berakhir

Suara Rachel terdengar merdu, fokus mata Leo tak pernah beralih dari video yang ia rekam sendiri saat itu, sekalipun foto-foto Rachel sudah disimpannya di sudut gudang, tapi pemilik barang-barang tersebut masih ada di sudut hati.

Leo benci saat ia menyadari terlalu lembek untuk beralih, sekalipun ada Natasha—ternyata tak mengubah sedikit saja tentang perasaannya. Leo bingung sendiri, sebenarnya apa yang ia inginkan? Kenapa saat Rachel ada—hanya terus ia abaikan, sedangkan setelah gadis itu memutuskan pergi, Leo berusaha menggapai.

"Lihat apa?"

Suara tersebut membuat Leo menengadah menemukan sang ayah sudah berdiri di sisi Leo seraya menyimpan kedua tangan di saku celana, wajah pria itu semakin dipenuhi kumis yang selalu dicukurnya meski tumbuh lagi dan lagi setelah usia nan sudah melewati angka empat puluh. Karang sudah tak lagi muda, dia menjadi penanggung jawab atas sepasang anak dari Pelita selama hampir 22 tahun pernikahan mereka, dan semua itu seperti incredible journey, terlalu banyak pelajaran berharga yang Karang dapatkan dari kisah hidupnya selama mengarungi bahtera rumah tangga dengan Pelita, termasuk hadirnya dua titipan Tuhan nan semakin beranjak dewasa.

"Rachel," sahut Leo, ia membiarkan sang ayah ikut bersila di sebelahnya seraya menatap air kolam renang yang tenang.

"Katanya udah putus ya?"

Dasar bapak-bapak!

Leo berdecak, ia malas membahas apa jawaban dari pertanyaan Karang, jadi Leo hanya membalasnya dengan anggukan.

"Nggak apa-apa, kadang harus melepaskan dulu biar bahagia."

Leo menoleh, ia menutup laptop—meletakan benda itu di sisi kiri, kini fokusnya beralih pada air kolam renang yang dingin.

"Dulu ... apa mama sama Papa nggak segampang itu? Katanya, kalian juga pacaran dari zaman kuliah, kan?"

Karang tersenyum tipis mengingat semua momen bersama Pelita di masa lalu, ya ... memang tidak mudah sama sekali, apalagi tragedi pernah membuat mereka hampir berpisah sampai Karang ingin mengakhiri hidupnya sendiri.

"Apa yang kamu dengar emangnya? Papa kan nggak pernah cerita, apa mama kamu yang bilang?"

Leo menggeleng. "Om Ardo yang suka bilang, katanya Om Ardo juga mantan mama ya, lucu juga." Laki-laki itu tertawa canggung. "Kok jadi kayak aku sama Raka ya sekarang." Tawanya langsung lenyap, ia benci menghadapi pertemanan mereka yang tak lagi sama.

"Kamu tahu nggak, semakin bertambahnya usia itu semakin besar masalah yang kamu hadapi, Nak. Sekarang kamu baru 21 tahun, kan? Itu masih tergolong muda, nanti kalau udah menikah, semua jauh lebih berat lagi, dan kaget nggak akan menyelesaikan masalah, tapi hadapi," ujar Karang begitu bijak, tak perlu ia berkata tentang mengapa, sebab setiap orang memiliki siklus hidupnya sendiri. Karang bukan tipikal pria yang suka menceritakan kisah masa lalunya kepada orang-orang termasuk anaknya sendiri, biar saja mereka mendengar dari orang lain, biar saja mereka menyimpulkan sendiri kalau hidup memang tidak mudah.

Sayap-Sayap Patah (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang