Rachel menatap lukisan yang kemarin sempat ia buang ke tempat sampah, sekarang sketsa wajah Leo sudah menempel di dinding ruang tamu. Rachel pikir Leo takkan peduli terhadap hasil kerja kerasnya, tapi dipajangnya lukisan itu sudah cukup menegaskan kalau Leo selalu menghargai apa pun yang Rachel berikan. Munafik juga kalau Leo mengatakan ia tak cinta pada Rachel, hingga hari itu saja foto-foto Rachel masih tertata rapi pada pigura yang berjejer di nakas apartemen Leo. Selama ini hanya Rachel yang sering dijadikan objek oleh Leo kala ia berlatih membidik gambar menggunakan kamera Karang—ayahnya, bakat fotografer itu menurun pada Leo, dan Karang membiarkan anak laki-lakinya menjadi apa saja sesuai keinginan sendiri.
Rachel tersentak saat sebuah tangan merengkuhnya dari belakang, Leo meletakan dagu di bahu Rachel seraya menatap sesuatu nan gadis itu perhatikan.
Sebenarnya tingkah Leo teramat manis, hanya saja beberapa bulan terakhir banyak hal yang menyakiti Rachel, dan semua itu berawal dari bibirnya sendiri, inginnya Rachel robek saja mulutnya saat pernah mengatakan sesuatu nan membuat hubungan mereka jadi aneh.
"Mau foto?" tawar Leo, tapi kekasihnya menggeleng. Ia putar tubuh Rachel agar menghadap dirinya, kini pinggang Rachel sudah bersandar di sisi nakas. "Maunya apa?"
"Nggak mau apa-apa, pulang aja," ujar Rachel, ia tak bisa lagi merasakan sesuatu yang sama saat sepasang iris hitam di sana menatapnya lekat. Rachel pernah begitu menyukai tatapan Leo, tapi saat Leo membaginya pada gadis lain—semua itu membuat Rachel benci.
"Pulang? Tidur sini aja, lagian di kost juga lo sendirian, kan?"
"Kenapa nggak minta temenin salah satu roommate lo aja?" tawar Rachel seperti menyindir, ia menyingkir, tapi Leo tarik tangan gadis itu.
"Lo lihat yang kemarin? Lo buang lukisan itu, Hel?"
Sejujurnya Rachel paling tak suka jika dihadapkan dengan momen menegangkan seperti sekarang, sebab ia tak bisa menyembunyikan air mata jika tiba-tiba meluapkan kekesalannya.
"Ya," sahut Rachel pendek, ia mengalihkan pandang saat iris itu masih saja menatapnya. Rachel mulai risi ditatap tanpa kedip.
"Hel, kalau lo mau. Gue nggak bakal mainan sama cewek lain?"
"Gue nggak mau!" Rachel mengernyit, kenapa Leo harus membahas itu lagi.
"Kenapa, Hel? Kita udah dua tahun, apa lo nggak percaya sama gue sedikit pun?"
"Cukup, Leo! Nggak usah bahas itu lagi, gue udah bilang kalau lo mau sama cewek lain ya udah!" geram Rachel, kedua tangannya mengepal kuat, mata gadis itu mulai berkaca.
"Oke sori, lo gadis baik-baik." Leo menarik tubuh itu dan merengkuhnya, membiarkan Rachel menangis tanpa isakan. "Jangan marah lagi, jangan."
Mau lo apa sih, gue nggak suka di terbangin sebelum lo jatuhin seenaknya, Leo.
"Maaf kalau buat nangis terus," ucap Leo setelah melepas rengkuhannya, ia mengusap wajah basah gadisnya sebelum mengecup lembut kening. Ia angkat dagu Rachel agar mata itu sudi melihatnya, Leo satukan kening mereka dengan arah tatapan yang menghunjam. Ia paling suka dengan momen saat Leo menikmati detak jantungnya ketika berada sedekat itu dengan Rachel, perasaannya takkan pernah berubah—meski apa yang ia perbuat pada Rachel memang salah.
Leo menangkup wajah gadisnya, ia hirup udara yang keluar dari hidung Rachel seolah menukarnya dengan apa yang ia miliki. Leo suka segala hal nan melekat pada gadisnya, Leo membutuhkan Rachel, meski entah sampai kapan sikapnya akan terus semengerikan itu.
Perlahan laki-laki itu memiringkan wajah, mendekat dan menyentuh lagi bibir yang masih jadi candu. Leo mengulumnya lembut, penuh perasaan, dan empunya tak bereaksi sedikit pun. Leo berharap sekali saja setan merasuk dalam tubuh Rachel agar gadis itu sudi disentuh olehnya, agar Rachel hilang akal sehat sejenak saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayap-Sayap Patah (completed)
RomanceSekuel of 'Danke' Romance, angst. "Terbang setinggi yang lo mau, lari sejauh yang lo bisa. Senang dikasih kebebasan, 'kan? Tapi satu hal, saat lo capek nanti--nggak usah cari tempat buat lo pulang, karena dia udah capek buat mengerti segalanya, dan...