Rachel berkacak pinggang mengamati dua lukisan berbeda di depannya, kedua kanvas di sana sama-sama memperlihatkan goresan cat minyak yang membentuk sebuah bunga. Rachel hanya bingung memilih salah satunya untuk ia bawa ke Jakarta guna dipajang di kamar kost, sudah tiga hari belakangan Rachel tak keluar rumah sebab sibuk bergelut dengan kanvas serta kuas di ruang melukisnya tersebut. Sama sekali tak ada rasa jenuh hinggap, sebab melukis adalah bagian dunianya, warna-warna cantik menjadi gradasi indah untuk Rachel uraikan, tidak membosankan.
Kala sore tiba—lukisan bunga mataharinya baru selesai, bahkan tangan-tangan Rachel masih kotor oleh cat minyak, sedangkan kondisi empunya sudah seperti gadis yang belum mandi seharian. Rambut masih dicepol dan sedikit berantakan di beberapa sisi ketika angin nan merasuk melewati jendela terbuka ruangan itu sudah menggoyangkan helai demi helai rambut Rachel hingga menjuntai.
Wajah kuarsa Rachel pun terlihat kusam setelah beberapa kali keringat mengucur sekalipun udara dari luar menyelinap permisi. Kaus oblong serta celana pendek yang dikenakannya mulai bau keringat, terhitung sejak pukul sembilan pagi hingga empat sore Rachel belum keluar dari ruang lukisnya, ia terlalu asyik dengan dunia seni yang memang menghabiskan banyak waktu—bagi si penggila tanpa merasa bosan.
Tampak ponsel serta headset tergeletak di permukaan meja kecil berdekatan dengan dua kanvas tadi, bersanding di sisi tempat cat minyak beserta beberapa buah kuas nan telah dilumuri warna berbeda.
Rachel masih berkacak pinggang, tangan kanan terangkat hingga jemarinya menggaruk dagu dan tinggalkan bekas cat minyak di sana, sekarang gadis itu lebih lucu lagi.
"Ck, ini yang mana sih harusnya," gerutu Rachel seraya menggaruk kepala, dia benar-benar bingung.
Sesuatu dalam perutnya bergejolak, empunya pun menggeleng saat menyadari sesuatu. "Dunia gue yang amazing ini bikin ngelupain banyak hal termasuk makan, oke kita makan, sayang." Rachel mengusapi perutnya seraya melangkah menuju pintu nan tertutup rapat.
Tangan kanan terangkat menarik kenop hingga pintu terbuka, ia keluar tanpa lupa menutup kembali ruang lukisnya—masih berantakan setelah porak-poranda oleh Rachel sendiri.
Kaki jenjang tersebut terus bergerak menghampiri dapur, tampak pembantu rumah sibuk menyelesaikan urusan cuci piringnya.
"Bibi masak apa ya? Rachel sampai lupa belum makan, sampai ada yang demo," celoteh gadis itu, ia menuju Bi Amina yang masih berdiri di depan tempat cuci piring, tangan-tangan wanita itu sibuk membersihkan sisa sabun pada benda yang baru disapu dengan spons penuh busa. "Misi dong, Bi. Aku mau cuci tangan dulu."
Bi Amina menoleh, tak perlu menunggu hingga lima detik wanita itu sudah terkekeh menanggapi wajah Rachel dengan dagu yang dipenuhi bekas cat air.
"Kok ketawa? Apa yang lucu deh?" Rachel mengernyit bingung, ia sibuk mencuci tangannya di bawah guyuran air kran.
"Itu lho, muka Non Rachel lucu. Apa nggak lihat dulu tadi? Masa sampai muka ikut dilukis," ujar Bi Amina.
"Masa sampai gitu sih, bentar deh." Rachel merogoh sesuatu di saku celana, ia berdecak saat mengingat ponselnya masih di ruang lukis. "Ada kaca enggak?"
"Ada kok, sebentar." Bi Amina menyingkir, ia berjinjit saat meraih sesuatu di atas lemari pendingin, setelahnya wanita nan selalu mengenakan apron saat di dapur itu kembali pada Rachel dan memberikan kaca kecil berbentuk bulat.
Segera Rachel kaca tersebut sebelum memosisikannya di depan wajah—baru ia ikut menertawai rupa belepotan di sana. Bi Amina ikut tertawa lagi.
"Nggak tahu kalau ada begituan nempel, saking nggak jelasnya tadi, ampun deh!" gerutu Rachel di sisa tawanya, ia mengembalikan kaca pada Bi Amina dan membiarkan noda cat air tetap di dagunya, semua akan segera beres selekas mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayap-Sayap Patah (completed)
RomanceSekuel of 'Danke' Romance, angst. "Terbang setinggi yang lo mau, lari sejauh yang lo bisa. Senang dikasih kebebasan, 'kan? Tapi satu hal, saat lo capek nanti--nggak usah cari tempat buat lo pulang, karena dia udah capek buat mengerti segalanya, dan...