34. When we meet rain.

1.9K 171 36
                                    

Rachel sibuk menggoreskan pensil pada kanvas di depannya, ia duduk di balik jendela seraya membiarkan angin siang ini berembus masuk menyentuh kulit yang hanya dibalut tanktop abu-abu serta celana pendek, Rachel juga mencepol rambutnya persis seperti sketsa wajah pada kanvas.

Instrumen musik terdengar dari ponsel Rachel turut serta menemani ketenangannya hari ini, setelah tiga hari berlalu tanpa Raka, semua mulai tampak berbeda.

Ia sendiri, benar-benar merasa sendiri tanpa seorang pasangan.

Pernah dua tahunan menjalin hubungan dengan Leo, lalu sebulan bersama Raka, dan sekarang hatinya perlahan mulai kosong ketika perasaan yang Rachel miliki lambat laun terkikis seiring berlalunya waktu.

Entah kenapa Rachel begitu mudah melupakan, atau mungkin karena ia sempat kecewa sebelum kata break meluncur dari bibirnya dan membuat sesuatu yang disebut bersama menjadi drama luka.

Setiap orang akan akrab dengan kesendirian, entah sekarang, setiap waktunya atau besok.

Rachel membuang napas berat, ia nan sempat mencondongkan tubuhnya kini duduk dengan tegak seraya menatap sketsa yang baru selesai setelah dua jam berkutat di balik kanvas polos. Gadis itu tersenyum menanggapi sketsa buatannya sendiri.

"Nggak buruk-buruk amat sih, walaupun bakal berakhir di tempat sampah juga," gumam gadis itu sebelum meletakan pensil pada meja kecil yang selalu disiapkannya di sebelah kiri kanvas acapkali ia melangsungkan hobinya tersebut.

Rachel beralih menatap tirai kamar yang bergerak tersapu angin, ia bergeming seraya menghela napas panjang.

Akhir-akhir ini semua mulai berubah, tak ada beban perasaan yang perlu ia pikul lagi, tak ada rasa sakit yang harus dirasakan. Jadi, mungkinkah Rachel menghadapi kesembuhannya?

Rachel menutup mata sejenak sekadar merasakan jika ia memang sudah mengatur jalannya sendiri, merasa bebas seperti keinginannya.

"Gue baik-baik aja tanpa kalian," gumam gadis itu sebelum beranjak keluar kamar.

***

Sore itu saat rintik gerimis mulai menyapa penghuni bumi, Rachel baru saja berkeliling menggunakan kakinya sendirian sekadar menghibur diri di sekitar Taman Pasupati, dia baru saja membeli beberapa camilan yang lama tak dinikmati seperti kue cubit misalnya.

Gadis itu memutuskan berlindung di bawah Jembatan Pasupati dan duduk di salah satu kursi yang sengaja dibentuk kubus berbagai macam warna. Rachel mengedar pandang, keadaan di sana tampak sepi, mungkin semua orang memang sudah menebak hadirnya air langit hingga aktivitas di area Taman Pasupati begitu kosong. Sekarang pun para penjual sudah berhamburan mencari tempat berlindung.

"Jomlo emang temannya kue cubit ternyata." Rachel tertawa kecil mendengar celotehannya sendiri, ia membuka kantung putih berisikan kotak kecil yang diisi kue cubit rasa green tea. Rachel menikmatinya tanpa segelas teh hangat, biar saja hujan yang menemaninya bersama kue cubit sore ini.

Seseorang berlari menyebrang jalan ketika hujan menderas, ia ikut berlindung di bawah Jembatan Pasupati tanpa tahu jika sesosok gadis yang dikenalnya juga berada di sana.

Laki-laki itu membuka gumpalan jaket nan sempat dipeluknya. "Kamera gue selamat, untung aja." Ia menoleh menemukan malaikat tak bersayap yang sempat singgah sejenak di masa lalu.

Rachel pun tampak tak peduli dengan kehadiran sosok laki-laki yang berdiri tak jauh dari tempatnya saat ini, ia memilih sibuk bersama satu per satu kue cubit hingga membuatnya gemas sendiri. Meski sosok basah kuyup tersebut mendekat pun Rachel tak terusik sama sekali.

"Sendirian?" Ucapan itu membuat Rachel menoleh dan beranjak, saking terkejutnya kotak kue cubit nan sempat ia pangku jatuh di selasar—membuat keseluruhan isinya berhamburan. Rachel menelan saliva menghadapi kehadiran mantan kekasihnya.

Sayap-Sayap Patah (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang