32. Why did we end?

2K 179 10
                                    

Mobil yang dikemudikan Aileen akhirnya melaju meninggalkan kediaman Rachel pagi ini, dua sahabat Rachel tersebut resmi kembali ke Jakarta setelah beberapa hari menikmati waktu mereka yang menyenangkan di Bandung, Rachel tak ingin merusaknya dengan konflik antara dirinya dan Raka, cukup ia simpan untuk sendiri.

Baru saja kaki Rachel melewati gerbang rumah yang terbuka lebar, terdengar klakson mobil sehingga membuatnya kembali menoleh, ia menemukan mobil Raka sudah berhenti di depan gerbang.

Rachel memutuskan menghampiri Raka, cowok itu baru turun seraya tersenyum simpul, tapi Rachel tak berniat membalas. Wajahnya datar tanda memperlihatkan sebuah rasa kecewa teramat besar usai kejadian tempo hari.

"Rachel."

"Raka."

"Gue pagi-pagi ke sini mau pastiin kalau lo baik-baik aja, nomor lo masih nggak aktif," aku Raka yang memang khawatir, ia membenci kesalahan besar nan dibuatnya kemarin hingga perubahan dalam diri gadisnya benar-benar kentara.

"Nanti gue aktifin," sahut Rachel lirih, gadis itu bersidekap, terlihat ia tak begitu menyukai kehadiran Raka. Mood Rachel memang mudah berubah, apalagi jika ia tengah merasakan kecewa.

"Terus, lagi ... gue minta maaf soal kemarin, gue mau lakukan apa aja asal lo maafin gue, Hel. Jangan diemin gue kayak gini," sesal Raka, seharian kemarin setelah mengantar Rachel dan memukuli Leo, pikiran Raka benar-benar tak tenang. Apalagi nomor Rachel memang tak aktif hingga pagi ini, malam yang hujan membuat Raka mengurungkan niat datang ke rumah sang kekasih. Tidur pun tak bisa tenang, apalagi suara petir semakin mengusik malam panjang nan menyiksa baginya.

"Apa aja?" Rachel mencari kesungguhan di sudut mata Raka.

Raka mengangguk cepat. "Iya, Hel. Apa aja."

"Kita break dulu." Kalimat itu spontan keluar dari bibir Rachel, tak ada beban sama sekali ketika mengatakannya, wajah Rachel juga tidak tegang.

"Break?" Raka berpikir sejenak untuk mengerti maksud kata tersebut, baginya terlalu aneh dan mustahil.

"Iya, break. Tahu maksud gue, kan?"

"Tapi kenapa, Hel?" Sungguh, Raka tak suka dengan keputusan kekasihnya.

"Gue perlu waktu, Ka. Semua yang lo perbuat kemarin bikin gue benar-benar sakit hati, lo bikin semua emosi gue di masa lalu naik lagi."

"Gue tahu itu salah besar, gue minta maaf, Hel. Lo boleh minta apa aja, tapi jangan akhiri kita. Gue mohon." Raka menyentuh sepasang bahu Rachel seraya memasang raut sendu, mungkinkah mendung pagi ini menjadi pertanda sesuatu tak baik memang akan terjadi di antara mereka?

"Gue cuma bilang break, Raka. Gue nggak bilang kita putus, kasih gue waktu buat sembuhin hati dulu. Ngelihat lo lagi bikin otak gue makin kacau, apa lo paham itu?"

"Hel ... jangan, gue nggak bisa."

"Maaf, Ka. Cuma itu yang gue mau, nanti kalau semua lebih baik, kita lanjut." Rachel meluruhkan tangan Raka dari bahunya, gadis itu berjinjit dan mengecup pipi Raka sebelum melenggang melewati gerbang, ia membiarkan Raka terdiam menunduk meresapi kesedihannya bersamaan kelabu yang menghiasi kanvas kosong di atas sana.

Rachel masuk rumah, ia menutup pintu rapat-rapat sebelum menyandarkan punggung di sana, Rachel menyentuh dada—merasakan detak jantung kini berpacu lebih cepat. Mengungkap sesuatu yang menyakitkan memang bukanlah keinginan Rachel, hanya saja ia merasa hubungannya dengan Raka perlu diberi tenggang jarak dan waktu agar Raka bisa menyadari sesuatu, agar Raka bisa lebih mengerti tentang Rachel dan perasaan yang masih terombang-ambing oleh masa lalu.

Rachel masih mudah patah, ia seperti sayap burung yang jika terluka akan sulit terbang lagi, sayapnya patah.

Mungkin di depan Raka gadis itu bisa sok kuat, sok tegar dan seolah setiap perkataan yang keluar dari bibirnya adalah perkara mudah, tapi di balik layar benar-benar sulit. Rachel juga merasakan sakit, tapi biarlah ia memberikan jarak sejenak agar menyembuhkan tiap-tiap bagian relungnya yang telah patah, ia hanya ingin jika mereka kembali lagi nanti—semua baik-baik saja seperti semula.

Rachel mendekati jendela dan menarik tirainya sedikit, ia mengintip Raka yang masih diam di depan gerbang, tak terlalu lama laki-laki itu meutuskan masuk mobil sebelum memacy kendaraannya meninggalkan kediaman Rachel.

"Maaf, Ka. Maaf, gue cuma mau kita baik-baik aja ... ternyata gue perlu waktu buat sembuh."

***

Hujan benar-benar turun hari ini, dan masih deras ketika Raka memutuskan mengemas semua pakaiannya ke dalam ransel besar yang tergeletak di ranjang kamar. Laki-laki itu memutuskan pulang ke Jakarta, ia terlihat meremas perut sebelah kiri seraya meringis menahan sakit.

"Kayaknya gue emang harus ke rumah sakit lagi buat check-up, harusnya luka itu udah sembuh," gumam Raka nan sibuk melipat baju-bajunya seraya berdiri di depan ranjang.

Pintu kamar terbuka, sosok Wardana—paman Raka sekaligus adik ayah Raka—muncul menghampiri keponakannya, ia mengernyit tatkala melihat Raka sibuk berkemas, padahal jauh-jauh hari Raka mengatakan kalau ia akan full liburan di Bandung.

"Lho, mau ke mana?" tanya Wardana yang kini berdiri di sisi Raka.

"Maaf, Om. Aku mau pulang hari ini, ada urusan yang harus aku kelarin," tutur Raka, ia memang memiliki dua alasan untuk pulang ke Jakarta. Pertama, keputusan Rachel yang membuatnya benar-benar pening, mungkin jarak dan waktu akan mendewasakannya menghadapi setiap masalah sehingga tak perlu terbawa emosi lagi. Kedua, bekas operasi di perut sebelah kiri Raka.

"Soal papamu atau apa?"

Raka menarik resleting ransel hingga tertutup rapat. "Iya, itu termasuk. Pengin cek keadaan papa langsung, nggak apa-apa, kan? Besok-besok Raka pasti ke Bandung lagi."

Wardana merangkul bahu keponakannya. "Iya nggak apa-apa, om paham kalau semua itu berhubungan sama orangtua kamu."

"Makasih udah mau disinggahi Raka, maaf kalau bikin repot Om terus."

"Halah, ya enggak dong. Namanya juga keluarga, apalagi dulu kamu juga tinggal di rumah ini waktu SMA."

"Sekali lagi makasih, Om." Raka tersenyum, ia menggendong ransel besarnya dan meraih tangan kanan Wardana sebelum mengecup punggung tangan tersebut. "Raka pamit sekarang, hujan nggak halangin kok."

"Oke, ayo om antar keluar."

***

Rachel tahu kalau Raka memutuskan pulang ke Jakarta setelah laki-laki itu menghubunginya tadi, Rachel menepati janji mengaktifkan nomor ponselnya. Meski berat, tapi gadis itu merelakan Raka pulang setelah alasan kesehatan orangtuanya membuat Rachel paham. Lagi, mereka akan jarang sekali bertemu, memang itu yang Rachel ingini untuk saat ini, bukan?

Gadis itu menghela napas berat, ia berdiri di balik jendela kamar dengan turai terbuka, percikan air hujan membuat basah kaca jendela bagian luar, lantai balkon juga sedikit tergenang.

Gadis itu menelan saliva, tangan kanan menggenggam ponsel—terangkat saat suara notifikasi chat berbunyi.

Gue pamit ya, Hel. Gue pulang sekarang, hati-hati di Bandung, i miss you everyday.

Rachel tersenyum tipis, hatinya menghangat setelah membaca chat dari Raka.

"Hati-hati juga ya, Ka. Semoga keputusan gue hari ini bisa lebih bikin lo mikir ke depannya, gue nggak mau dicurigai kayak gitu. Gue sayang sama lo."

***

Met malem minggu (●´∀`)ノ♡

Met malem minggu (●´∀`)ノ♡

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sayap-Sayap Patah (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang