CHAPTER 22

3.1K 90 2
                                    

Happy Reading ^_^

~ - ~ - ~

Derap langkah yang terdengar tergesa-gesa mendekat membuat Dika dan kawan-kawannya menatap Revan dan Zoya yang wajahnya terlihat sembab.

Bagaimana tidak? Sepanjang jalan Zoya terus menangis. Sisi lemahnya akan muncul di permukaan ketika menyangkut kakaknya. Dan pemandangan itulah yang baru saja terlihat di hadapan mereka.

"Gimana keadaan Io?" tanya Zoya to the point dengan suara serak khas habis menangis.

Revan merangkul bahu Zoya, membawa gadis itu duduk di salah satu bangku rumah sakit agar Zoya bisa lebih tenang.

Dika menghela napas sejenak sebelum menjawab, "Dokter masih di dalem. Kata warga sekitar, Zio ngebut di tengah jalan dan nabrak pengendara lain yang mabuk dan bawa motor ugal-ugalan. Gue juga baru tau pas liat Zio dibawa ke RS. Tadi gue nemenin nyokap check up. Dan nggak sengaja liat dia dalam kondisi nggak sadarkan diri. Sekarang mendingan kita sama-sama berdoa semoga Zio nggak apa-apa."

Zoya menyandarkan kepalanya di dinding rumah sakit dengan mata terpejam. Dia menyesal karena tidak berhasil menahan Zio tadi. Seandainya dia lebih memaksa Zio, mungkin kakaknya itu tidak akan celaka seperti ini.

Sementara Revan dan yang lainnya terus saja melafalkan permohonan kepada Tuhan dalam hati mereka masing-masing agar Zio bisa melewati itu semua.

Zoya membuka matanya. Dia belum mengabarkan kondisi Zio kepada orang tua mereka. Bagaimana bisa dia melupakan hal itu?

Tangannya merogoh saku seragamnya, namun tak menemukan ponselnya. Bahkan Zoya baru sadar kalau dia tidak membawa tasnya. Zoya berdecak sebal. Salahkanlah kekalutan yang melandanya tadi. Harusnya dia bisa mengendalikan diri agar tidak ceroboh di saat-saat seperti ini.
"Van, lo bawa HP nggak?" tanya Zoya.

Tanpa menjawab, Revan menyodorkan ponselnya kearah Zoya,"Passwordnya 3107."

Sempat penasaran dengan arti password yang diberikan Revan, tapi untuk saat ini Zoya lebih memilih mengotak-atik ponsel Revan dan menghubungi Sam dan Tari. Untung saja, Zoya menghafal nomor telepon mereka.

Panggilan pertama dan kedua tidak mendapat jawaban membuat Zoya mengumpat kesal. Panggilan ketiga pun dilakukan. Zoya bersumpah, jika dia mendengar suara operator lagi, maka sudah dipastikan ponsel Revan akan hancur berantakan di lantai rumah sakit.

"Halo?"

Suara itu membuat Zoya tidak jadi melempar ponsel Revan. Untung saja.

"Pulang sekarang," singkat Zoya.

"Loh? Kenapa sayang? Mama sama papa masih harus tanda ta-"

"Stop mikirin bisnis kalian sekali aja dan pikirin kami berdua! Io kecelakaan dan kalau kalian nggak datang besok, Zoya bakal minggat dari rumah!" ancam Zoya dengan suara yang meninggi dan memutuskan sambungan telepon secara sepihak.

Tidak sopan memang. Tapi hanya dengan ini dia melampiaskan emosinya kepada mereka yang selalu mengabaikannya dan Zio demi bisnis semata.

Revan menerima ponselnya yang diulurkan gadis itu. Tangannya yang lain mengusap bahu Zoya, "Mereka orang tua kamu, Zoy. Nggak seharusnya kamu bentak mereka kayak tadi."

Sebelum Zoya membalas ucapan Revan, pintu ruang UGD terbuka menampilkan seorang pria berjas putih khas dokter. Kemunculannya membuat ketujuh remaja itu mengerubunginya.

"Keadaan pasien sudah mulai stabil. Mungkin sekitar dua atau tiga jam kedepan, Zio akan segera sadar. Kalian tidak perlu khawatir."

Mereka bertujuh menghela napas lega. Kekhawatiran mereka pun menguap seketika. Tak terkecuali dengan seseorang yang sejak tadi bersembunyi di balik tembok rumah sakit. Hatinya memerintahkannya untuk menghampiri Zio, tapi otaknya menolak dengan tegas.

My Ice PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang