Haloha Annyeong!
Hidup ini berat, biar makin berat, baca CLM aja. Hehe...⚠ Typo, bantu revisi. ⚠
🌟 Vote vote vote! 🌟
Happy reading! 💕💕💕***
Aceh, 2004.
Siapa yang paling berkuasa atas hidup? Jawabannya, adalah Yang Maha Kuasa. Siapa yang bebas memutarbalikkan takdir dengan begitu mudahnya? Jawabannya, Maha Pencipta Takdir. Siapa yang akan menyayangi tanpa mengharapkan balas pamrih? Jawabannya, Yang Maha Pengasih.
Biasanya, bagian Indonesia paling barat itu sibuk seperti kota yang lainnya. Ada yang sedang menikmati kebahagiaan, ada yang sedang menikmati perjuangan, dan ada yang mensyukuri kesedihan. Hidup ini bukan milik kita, karena faktanya kita akan kembali pada Maha Pencipta. Bersyukurlah ketika melihat matahari terbit dari ufuk timur, atau masih bisa menikmati indahnya senja di pinggir pantai. Karena belum tentu, detik di hari selanjutnya adalah milikmu.
Seperti hari itu, 26 Desember 2004, menjadi hari paling memilukan untuk warga Aceh. Kebahagiaan yang kemarin tidak bersisa lagi, yang ada hanya tangisan yang meratapi kemalangan. Entah dimana hadirnya sanak saudara, entah masih hidup atau tidaknya orang tua mereka. Jangankan untuk mencemaskan orang lain, untuk memikirkan diri sendiri pun mereka tidak mampu, tidak kuasa. Tidak ada lagi tidur dalam rumah yang nyaman dan hangat. Mereka aku berkumpul dalam satu tenda tipis, beralaskan tanah, bersama sampah dimana-mana.
Tapi sekali lagi, kita tetap harus bersyukur meski hidup yang dijalani bukan sepenuhnya milik manusia. Begitu pula dengan gadis kecil berusia dua tahun, bersyukur masih bisa menangis di sisa-sisa tenaganya. Dia lapar, haus, dan sangat kedinginan. Tidak mati terseret ombak pun merupakan sebuah keajaiban besar. Apalagi ketika Allah mengirimkan malaikat bertangan hangat yang kini menggendongnya, menatapnya dengan penuh kasih sayang.
“Hello, cantik. Jangan menangis, sekarang kamu tidak sendirian.”
Bagaikan mantra, anak itu berhenti menangis ketika. Karena dia tahu, sekarang dia tidak sendirian lagi. Tidak sendiri meskipun kedua orang tuanya entah dimana. Mata beningnya yang indah, berulang kali menatap sosok itu, sosok yang sedang menyuapinya dengan penuh ketelatenan. Tangan mungilnya, berulang kali menyentuh wajah sosok itu, berusaha menanamkan dalam hati bahwa dia adalah pelindung yang dikirim Allah untuknya. Badan mungilnya, tidur terlelap dalam pangkuan sosok itu, penuh kehangatan dan lupa bahwa dia sempat menjadi makhluk yang malang.
Hari-hari selanjutnya, dihabiskan dengan kebahagiaan. Seakan kejadian itu bukan apa-apa, anak kecil itu tertawa dengan lepas setiap hari. Meskipun kakinya patah dan tengkoraknya retak, dia tetap tersenyum. Tanggal 17 Januari 2005, anak kecil itu sadar, hidupnya akan lebih bahagia jika meninggalkan tanah Aceh.
“Saya Delon Sertoadji, akan membawa anak ini ke Jakarta, mengurusnya seperti anak saya sendiri.” Kemudian malaikat tak bersayap itu melirik anak kecil yang sedari tadi menatapnya. “Sekarang, nama kamu adalah Diandra Putri Sertoadji.”
***
Diandra berubah banyak setelah berbicara dengan dokter yang menangani hari itu. Dia menjadi lebih muram, banyak melamun, kalau ditanya tidak menjawab. Diandra seperti tinggal di dunianya sendiri. Dan bahkan, sudah tiga hari ini Diandra tidak masuk kerja, lebih memilih untuk tinggal di rumah dengan segala yang berkeliaran di kepalanya. Seperti sekarang, Diandra sedang duduk di samping kolam renang dengan kepala yang tertunduk.
Kesehatannya semakin membaik, tidak lagi bolak-balik kamar mandi. Tapi justru semakin hari orang tua Diandra semakin khawatir. Karena yang Diandra lakukan selama ini hanya melamun, tanpa mau berbagi tentang apa yang dirasakan olehnya. Setiap kali diminta untuk berbagi, Diandra selalu balik bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Lovely Man [Tamat]
Fiksi UmumSekuel 'Rude Beautiful Girl' Saling mencintai tidak cukup menjadi alasan rumah tangga berjalan bahagia. Pasti selalu saja ada masalah yang menguji cinta mereka. Mulai dari masalah kecil tentang kata ganti saat bicara, karena mereka biasa memakai gue...