Haloha Annyeong!
⚠ Typo, bantu revisi. ⚠
🌟 Vote vote vote! 🌟
Happy reading! 💕💕💕***
Diandra memandangi seisi rumah dengan perasaan sedih. Rumah besar ini begitu sepi tanpa Alex. Suara jarum jam dinding pun terasa begitu menyeramkan. Bahkan Diandra bisa mendengar deru nafasnya sendiri, saking sepi suasana rumah. Jadi, sampai kapan mereka saling merindu dalam diam seperti ini? Sepertinya Alex membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mempersiapkan diri mendengarkan penjelasan Diandra. Padahal alasan yang akan didengar nanti bukanlah omong kosong yang neko-neko. Ini semua karena trauma yang dialami oleh Diandra, ketakutan Diandra akan masa depan.
Diandra memasuki kamarnya, sepi semakin menggerogoti. Biasanya, di ranjang itu mereka berbagi tentang kejadian sehari penuh di kantor masing-masing. Di ranjang itu pula Diandra bisa melihat wajah terlelap Alex yang sangat damai. Tapi sekarang, ranjang itu terasa dingin. Tidak ada lagi teriakan Diandra yang meminta Alex untuk mandi dengan cepat. Atau mungkin teriakan Alex yang meminta Diandra untuk mengantarkan handuk, karena dia selalu saja lupa.
Lamunan Diandra terganggu ketika mendengar gonggongan Anor dari luar. Dia mengernyitkan kening, perasaan Pak Dede belum tiba. Karena beliau izin pada Diandra untuk datang terlambat, anaknya sedang sakit. Kemudian, Diandra berjalan mendekati jendela kamar. Langit benar-benar hitam pekat, sudah ada petir yang bersanghutan di mana-mana. Diandra semakin bingung saat Anor memperlihatkan taring tajamnya sambil terus melihat ke arah rumah. Mungkinkah ada orang asing?
"Ada Nisa kali, ya? Anor kan belum kenal sama Nisa." Diandra segera bergegas keluar dari kamar. Mungkin Nisa datang ke rumahnya untuk menemani Diandra, dia sudah berjanji kemarin malam untuk menginap. Diandra juga perlu teman malam ini, supaya rumah tidak terlalu sepi.
Tapi sejurus kemudian, Diandra menghentikan langkahnya di anak tangga ketiga. Tidak mungkin Nisa memaksa masuk tanpa memencet bel terlebih dahulu. Mustahil juga rasanya suara Nisa Terdengar begitu berat, persis suara seorang pria. Tapi diandra berusaha untuk berpikir positif, mungkin saja itu sahabat-sahabatnya yang datang untuk memberikan Diandra dukungan. Dia memutuskan untuk melanjutkan langkahnya yang sempat berhenti.
"Anjingnya perlu kita apain, Bang? Ganggu banget kalo didiemin kayak gitu. Bisa-bisa orang kompleks sini pada tahu."
"Lo abisin aja."
Baiklah, sekarang Diandra sudah tidak bisa lagi berpikir positif. Karena dia sama sekali tidak mengenal suara yang ada di balik pintu. Dengan cepat, Diandra segera berbalik menuju kamarnya. Bersamaan dengan Diandra yang berhasil mengunci kamar, terdengar suara bantingan keras dari bawah, persis suara pintu yang di dobrak secara paksa. Nafas Diandra berburu, tangannya sudah dingin, darah mengalir dua kali lebih cepat dari normal. Itu pasti perampok!
Pintu berhasil dibuka, terdengar tawa yang begitu keras dari orang-orang itu. Diandra perkirakan, mereka bertiga. Dengan cepat, Diandra menyambar ponselnya yang ada di atas nakas kemudian berlari menuju kamar mandi. Diandra berusaha menghubungi siapa saja yang bisa menolongnya saat ini. Karena tidak mungkin dia dalam menghadapi mereka sendiri. Sudah lama dia tidak berlatih karate. Meskipun kekuatannya tetap stabil, tapi pasti strategi Diandra menurun drastis.
"Gila, tajir bener yang punya nih rumah! Kerja apaan ya, Bang?"
"Suaminya penulis novel, istrinya pengusaha sukses. Ambil apapun yang bisa kita jual. Gue mau ke lantai atas."
Rasanya Diandra mau bumi menelannya saat itu juga. Benar-benar putus asa dan tidak bisa berpikir jernih. Jika seandainya kaki Diandra cukup kuat, dia pasti lebih memilih untuk melompat dari jendela kamar. Tapi bagaimana bisa, yang ada Diandra akan ditangkap mereka lalu dibunuh. Diandra hanya bisa berdoa di balik pintu kamar mandi sambil terus memilih nomor orang yang bisa dimintai pertolongan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Lovely Man [Tamat]
General FictionSekuel 'Rude Beautiful Girl' Saling mencintai tidak cukup menjadi alasan rumah tangga berjalan bahagia. Pasti selalu saja ada masalah yang menguji cinta mereka. Mulai dari masalah kecil tentang kata ganti saat bicara, karena mereka biasa memakai gue...