TAKDIRKU BERSAMAMU
°•°•°•°•°•
▪
▪
▪
▪Sinar jingga telah digantikan dengan pekatnya malam tanpa kilaunya bintang di langit sana. Hanya ada bulan setengah yang menghiasi. Netra indah itu tak hentinya memandang, seiring dengan tepukan pelan di pundak membuat ia mengalihkan perhatian.
"Sudah malam. Kenapa belum tidur?"
Bakinza terkejut karena tepukan itu, ia mengelus dada, "Ummi, Kinza kaget tahu ..."
Halimah terkekeh, "maaf sayang ... sudah malam, Za, kenapa berdiri di sini? Dingin. Nanti masuk angin."
Bakinza menghela napas lalu ia mengambil kedua tangan umminya, ia genggam dengan penuh kasih, "Ummi setuju banget, ya, kalau Kinza nikah sama dia?"
"Jika Ummi bilang iya, kenapa?" Halimah balik bertanya yang membuat bibir Bakinza maju ke depan.
"Ya ... kalau Ummi setuju pake banget, Kinza juga nanti bahagia. Karena kebahagiaan Ummi dan abi itu prioritas Kinza, jadi tidak ada alasan apapun untuk Kinza menolak dia," bibirnya kembali mengerucut, "kalo misalnya Kinza nolak juga udah terlambat, wong undangannya juga uda disebar."
Halimah tertawa pelan saat sang putri mengatakan kalimat terakhir, "iya, Ummi setujuuu bangeeet! Karena dia kriteria Ummi banget."
Bakinza melongo mendapati sang ummi mesem-mesem, "kok Ummi mesem-mesem kayak gitu? Sadar Ummi, udah punya abi dan 2 anak!"
"Dek! Selain dia mapan dan soleh, dia itu ganteeeng bangeeett, blasteran Timur Tengah. Kamu beruntung mendapat calon suami seperti dia," setelahnya Halimah mencubit gemas kedua pipi sang putri.
Bakinza menautkan alis, "calon Kinza blasteran, Mi? Cobak Kinza pengen tahu. Ummi ada fotonya?"
Halimah tersenyum jahil, "kepo, yaaaa? Udah gak sabar, yaaaa? Tunggu aja, Za! 4 hari lagi juga kamu bakal tahu seperti apa wajahnya. Dijamin, deh, kakakmu-pun kalah ketampanannya dengan calonmu."
"Ihhh! Kok, Kinza gak boleh tahu, sih, wajahnya dia? Apa jangan-jangan dia perutnya buncit terus udah tua, ya?" Bakinza menutup mulutnya tidak sanggup bila hal itu kenyataannya.
Dan kini Halimah tertawa sampai berair mata, mana mungkin ia akan menyerahkan sang putri tercinta pada seperti apa yang Bakinza katakan. Setiap ibu pasti ingin yang terbaik untuk sang buah hati.
"Kamu, Za! Ya nggaklah! Masa' iya Ummi terima lamaran pria tua. No! Pokoknya kamu gak bakal mau berpaling deh dari wajah calonmu itu. Sudah, ya, Ummi mau tidur. Tadi kebetulan saja lewat kamarmu yang pintunya terbuka. Kamu juga tidur, ya, cepet! Gak baik buat kesehatan, kamu kan calon pengantin jangan sampe matamu seperti mata panda!"
Bakinza hanya menganggu saja mendengar perkataan sang ummi, memangnya setampan apa, sih, dia? Pokoknyaa titik gak ada yang bisa ngalahin ketanpanannya abiku tercinta!
Setelah sang ummi menutup pintu, Bakinza memandang kembali pada langit. Pikirannya berkelana pada saat Latief mengatakan dirinya tak lama lagi akan menikah. Tentu saja ia kaget, tiba-tiba saja mengatakan hal sakral seperti itu dan ia kecewa mengapa sang abi tidak membicarakannya terlebih dahulu perihal pernikahan yang akan dilaksanakan empat hari yang akan datang. Namun Bakinza tidak dapat menolak, dirinya bisa apa saat Latief berkata undangan sudah disebar?
"Hah ..." helaan napas panjang keluar dari bibir ranumnya.
Pernikahan menurutnya adalah yang tidak serta merta menyatukan kedua insan saja namun kedua belah pihak keluarga. Bagaimana nanti antar kedua belah pihak keluarga akan berhubungan baik jika tidak pernah saling bercengkrama? Mengenal-pun tidak. Dan ... yang Bakinza takutkan apakah nanti ia bisa menjadi istri yang baik? Melihat fotonya saja tidak boleh apalagi sekedar berbincang. Baginya komunikasi juga bagian hal penting untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warohmah. Ia takut nanti dirinya dan sang calon saling diam tak mau berbicara dan ujungnya nanti bercerai ...

KAMU SEDANG MEMBACA
BAKINZA-Takdirku Bersamamu
RomanceAllah tidak menguji cinta seseorang, Allah hanya menguji hatinya. Sejauh dan semampu manakah ia sanggup bertahan. --------------- Di saat cinta telah menetap, di saat rindu sudah dibelenggu dalam penantian panjang. Bagaikan petir yang menyambar, Bak...