Bagian 9. (Mansion Mewah)

232 45 66
                                    

Kedatangan Seok Jin di Jeju, disambut oleh seorang lelaki sebayanya yang memiliki penampilan bak profesional muda tak ubahnya penampilan Seok Jin. Setelah beristirahat sejenak untuk melepas penat sekalian menunggu Seok Jin selesai mandi, Nam Joon, nama lelaki sahabat Seok Jin tersebut, mulai menceritakan soal mansion mewah yang dilengkapi padang rumput luas untuk berkuda di sekitar kawasan kota pelabuhan Mokpo yang ia ketahui.

"Tempat itu agak terpencil dan aku tidak bisa mendekat karena penjagaan di sana cukup ketat," kata Nam Joon pada Seok Jin yang masih sesekali mengeringkan rambutnya menggunakan handuk hotel tempatnya menginap. "Tapi aku berhasil mendapatkan informasi dari salah satu mantan orang dalam yang pernah bekerja di sana, dan tak kusangka dia mengatakan kalau mansion itu milik putra kedua konglomerat kaya raya Jeon Tae joo asal Seoul."

"Itu milik Taehyung?" Seok Jin menyahut tak percaya. Nam Joon membenarkan dengan menjentikan jarinya.

"Bingo!" seru Nam Joon. "Mungkin, ayahmu diam-diam membelikan aset mewah untuk adik tirimu tanpa sepengetahuanmu. Sebagai agen properti, kutaksirkan harga mansion itu sekitar 121, 5 miliar won. Harga yang cukup fantastis untuk hadiah kepada seorang anak dari istri simpanan."

Seok Jin mendengkus. Menggigit bibir setengah tak percaya jika ayahnya bisa berlaku curang padanya. "Nama Taehyung terdaftar dalam kartu keluarga kami sekalipun pernikahan ayah dan Ji So tidak didaftarkan ke lembaga hukum. Artinya, Taehyung berhak mendapatkan setiap aset yang dimiliki ayah kami sebagaimana aku dan Jungkook berhak memilikinya."

"Sungguh membuat iri. Jika semudah itu untuk mendapatkan kekayaan Jeon Tae Joo, aku bisa saja mengaku jadi anak biologis ayahmu dari salah satu wanita malam yang pernah dikencaninya." Nam Joon menanggapi setengah bercanda, tetapi Seok Jin tidak sedang dalam suasana hati yang senang, mengabaikan candaannya.

"Jadi menurutmu, Taehyung sekarang ada di sana?"

"Kudengar ada seorang remaja lelaki yang sempat dibawa ke sana sekitar satu tahun lalu. Tak ada seorang pegawai pun diizinkan melihatnya. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan makannya, hanya dokter yang boleh membawanya masuk ke kamar khusus yang disediakan untuk lelaki itu. Aku menduga itu memang adik tirimu. Kau mau ke sana untuk memastikan sendiri?"

Seok Jin menatap Nam Joon dengan raut kian serius. "Mengapa harus seorang dokter?"

Nam Joon mengedikkan bahu tak yakin, "Ini sedikit drama dan aku tidak seratus persen yakin dengan kebenarannya, tapi sepertinya seseorang sengaja mengubah wajah Taehyung demi kepentingan khusus."

"Ceritakan padaku." Seok Jin menjadi semakin tertarik.

"Pegawai itu mengatakan, pernah pada suatu malam di hari hujan terjadi peristiwa yang mengerikan. Seorang lelaki melarikan diri dari kamar khusus dan mengamuk seperti orang gila. Dia menangis dan menghancurkan barang-barang di sana sambil meminta wajahnya dikembalikan. Dan selama berminggu-minggu sejak kejadian itu, para pegawai masih sering mendengar teriakan frustrasi dari kamar khusus. Pada akhirnya semua pegawai yang mengetahui peristiwa itu diberhentikan dan diberi banyak pesangon. Mereka diminta menutup mulut, tapi aku berhasil membuat salah satunya buka mulut dengan menyelipkan sedikit uang untuk biaya kuliah anaknya sampai jadi sarjana. Kau harus mengganti uang buka mulut itu padaku, omong-omong."

Seok Jin kembali menyeringai. Nam Joon memang selalu luar biasa. Tapi ia juga sangat pandai soal urusan memerasnya. "Bawa aku menemui narasumbermu itu. Aku akan mengganti setiap sen uangmmu jika dia memberitahuku detailnya."

"Tentu."

*

Keesokan paginya, Nam Joon menjemput Seok Jin ke hotel tempatnya menginap. Setelah satu jam perjalanan dilalui dengan mengendarai sebuah mobil, mereka akhirnya tiba di sebuah rumah sederhana di pesisir pantai tempat tinggal mantan salah satu pegawai yang dijanjikan Nam Joon. Dan bertemu seorang pria botak lima puluh tahunan yang tengah mulai menjemur ikan-ikan hasil tangkapannya melaut di depan rumah.

Usai berbasa-basi dan menikmati segelas teh, pria bernama Mo Myung itu mulai bercerita, "Dia sangat tampan. Sungguh itu adalah pertama kalinya aku melihat seorang anak yang begitu tampan sejak aku dilahirkan dan menua di kota ini. Tapi tampaknya dia benar-benar tidak bahagia. Aku melihat bagaimana ia menangis di bawah derasnya hujan pada malam itu, meminta wajahnya dikembalikan. Dia mengumpati Tuhan di tengah halaman dan menyumpahi siapa pun yang sudah melakukan hal buruk kepadanya. Jika kalian di sana, kurasa kalian akan ikut menangis karena kasihan."

"Lalu, selain dokter, apakah Anda pernah melihat seseorang datang mengunjunginya? Seorang pria paruh baya, mungkin?" Seok Jin mendesak penasaran. Berharap ia akan mendengar kabar jika ayahnya pernah datang dan dia adalah otak di balik semua ini, tetapi Mo Myung menggeleng setelah cukup lama.

"Bukan pria paruh baya, melainkan seorang Madam yang kecantikannya sangat luar biasa. Akan tetapi, dia sangat dingin dan tidak pernah tersenyum pada siapa pun. Dia menakuti semua orang setiap kali datang ke sana hanya dengan tatapannya yang dingin."

"Anda tahu siapa namanya?" Seok Jin memburu.

"Jika tak salah ingat...." Mo Myung tampak memikirkannya sebentar. "Madam itu bernama Ji So. Aku pernah mendengar dokter memanggilnya demikian, Madam Ji So. Ya, seperti itu."

Nam Joon yang sejak tadi hanya menjadi pendengar setia seketika membuka mulutnya hingga dagunya nyaris terjatuh. Sedangkan Seok Jin tertawa. Tawa yang menunjukkan jika dirinya merasa sangat terbodohi selama ini.

"Dia ibu tirimu!" Nam Joon berseru.

"Jadi wanita itu rupanya." Seok Jin mengepalkan tangan menahan geram.

"Tunggu," sela Mo Myung kemudian. "Madam tidak pernah menemui anak tampan itu. Dia hanya datang dan melihatnya dari kejauhan. Bahkan anak itu tidak pernah tahu kalau ia sering mendapat kunjungan dari Madam."

"Lalu saat terakhir Anda bekerja di sana, apakah anak itu masih di sana?"

Mo Myung mengangguk-angguk, "Sampai saat itu dia masih di sana, tapi untuk saat ini aku tidak dapat memastikannya."

"Jika suatu saat nanti aku bertemu dengan anak lelaki itu dan memperlihatkan fotonya padamu, apa kau masih dapat mengenali wajahnya?" Seok Jin bertanya lagi setelah terdiam beberapa lama.

Anggukan Mo Myung menjadi jawaban penutup bagi obrolan mereka di hari itu, "Dia seperti malaikat yang jatuh ke bumi. Mana mungkin aku bisa melupakan wajahnya yang rupawan."

*

Nam Joon memegang kemudi dengan satu tangan dan tangan satunya tak berhenti ia antuk-antukkan ke bibir. Sesekali, ia menoleh cemas pada sahabatnya yang tampak serius menatap lurus jalanan di depannya.

"Jadi, apa rencanamu sekarang?" tanya Nam Joon tak lagi sanggup membiarkan keheningan berlangsung lebih lama.

Seok Jin menghapus lamunannya, lantas menyeringai dengan sebuah keyakian, "Aku akan membereskan Ji So terlebih dulu."

"Kau mau aku mengantarmu ke mansion itu sebelum kembali ke Seoul?" Nam Joon menawarkan. "Hanya untuk memastikan apakah Taehyung masih di sana atau tidak."

"Tidak perlu. Jika Ji So memang benar menyembunyikannya, wanita ular itu tidak akan membiarkan Taehyung tetap di dalam persembunyiannya. Dia pasti sudah mengirim Taehyung ke suatu tempat di luar sana."

"Lantas jika kau bertemu Taehyung, apa yang akan kau lakukan padanya?" Nam Joon bertanya lagi. Namun, Seok Jin hanya menolehnya sembari menguraikan senyum misterius, yang tidak dapat diterjemahkan Nam Joon apa maksudnya.

*

Nah, bagaimana kesan kalian setelah membaca sampai sini?

Descendants [21+ END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang