Jangan Pergi!

8.1K 653 40
                                    

Sebulan sudah berlalu sejak Albern lahir. Sebulan pula, Arman pulang untuk menemui putranya dan tinggal di apartment yang sama dengan sang istri walau tidak lagi berada di satu kamar dan ranjang yang sama. Arman selalu tidur di ruang kerjanya atau terkadang terlelap sambil menggendong Albern ketika anak itu menangis di malam hari. Seperti saat ini misalnya.

Arman sedang memberikan susu pada Albern. Beruntungnya, jika sudah mulai malam, Natasha akan menyetok ASI dan dia letakan di dalam kulkas kecil di kamar Albern. Karena itulah, Arman bisa menyusui putranya dengan perlahan tanpa membangunkan Natasha. Dia bukannya tidak mau bertemu atau sekedar bertatap wajah dengan Natasha. Dia hanya takut tidak bisa merelakan Natasha jika wanita itu memilih pergi nantinya.

"Albern... daddy sayang padamu. Kamu tahu itu, kan?" Ujar Arman pada putranya.

"Kalau nanti kita tidak tinggal bersama, Albern jangan benci daddy, ya? Marah dan kesal pada daddy boleh, asal jangan membenci daddy," ujar Arman lagi.

Bayi kecil yang tengah menyusu itu menatap Arman dengan mata cokelatnya yang sangat jernih. Arman tersenyum sendu.

"Terima kasih. Terima kasih, Albern sudah membantu daddy dekat dengan mommy selama beberapa bulan terakhir. Kalau bukan karena Albern, mommy tidak akan sudi berada di dekat daddy,"

Arman mengusap airmatanya dengan bahunya sendiri. Dia tersenyum kecil saat putranya menatapnya penuh senyuman di bibir yang sedang asyik menyedot botol susunya.

"Kamu sangat menggemaskan. Jadilah anak yang baik. Jangan nakal dan turuti apa kata mommy! Jaga mommy untuk daddy, ya?"

Kaki Albern menendang-nendang ke udara. Meski sedang dibalut dengan kain, kedua kaki kecil itu terus bergerak seolah tidak setuju dengan ucapan Arman. Arman terkekeh kecil.

"Daddy tahu, jagoan. Dia tetap ratu kita. Sampai kapan pun,"

Arman menepuk punggung putranya saat anak itu selesai menyusu. Sampai anak itu bersendawa, barulah Arman kembali menimang pelan dirinya. Sangat pelan karena Arman takut putranya muntah nanti jika dia menimang terlalu kuat.

"Dengar. Daddy sudah membeli rumah untuk kita, sayangnya. Rumah itu bukan kita bertiga yang tempati. Tapi, hanya kamu dan mommy yang akan menempatinya. Rumah itu sepenuhnya milik kalian,"

"Jangan beritahu mommy, okey!?"

"Daddy minta maaf. Daddy dulu tidak pulang kesini dan menemani kalian tidur sampai mommy harus tidur dengan bantuan obat penenang,"

Arman merasakan tenggorokannya mulai tercekat. Dia mengingat kembali bagaimana berbahayanya keadaan saat itu.

"Daddy minta maaf, Albern. Saat itu kamu kesakitan ya? Pasti sangat sakit, kan? Maafkan daddy. Daddy sudah menyakitimu,"

Arman mendekap erat bayinya. Dia mengecupi kening dan puncak kepala bayinya dengan sayang.

"Daddy benar-benar minta maaf, sayang. Maafkan daddy,"

"Tapi, daddy tidak seperti yang orang-orang katakan. Daddy tidak pergi dengan tante Lia. Ya, daddy pergi dengannya tapi, itu untuk membicarakan rumah besar kita. Ah, tidak. Maksud daddy rumah besar mommy dan kamu,"

"Daddy mau memberimu dan mommy kejutan. Sayangnya, bukan mommy dan kamu tapi, daddy yang harus dikejutkan dengan permintaan mommy,"

Arman menunduk dengan cepat dan mengusap pipi putranya.

"Jangan marah pada mommy, okey!? Itu salah daddy. Marahlah pada daddy,"

[DS#2] Between Me, You and WorkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang