"Daddy..."
Suara Alvian itu membuat Arman membuka matanya. Arman melihat putranya sudah terduduk di sebelahnya. Tangan Arman langsung terulur ke arah Alvian dan menarik anak itu agar berbaring kembali di ranjang.
"Kenapa jagoan?" Tanya Arman dengan suara serak.
Seperti biasa, Alvian tidak akan menjawab. Dia malah kembali bergelung dalam pelukan ayahnya. Arman menguap kecil. Dia bangkit dan duduk di ranjang. Tangannya terulur ke arah Alvian. Alvian langsung saja menghampirinya dan naik ke gendongan ayahnya.
Arman mengajak Alvian ke kamar mandi dan menemani anak itu disana dengan mata setengah mengantuk. Saat Alvian sudah selesai Arman kembali menggendong anak itu dan memflush klosetnya. Dia juga sempat berhenti di wastafel agar putranya bisa mencuci tangan lebih dahulu.
"Alvian lapar?" Tanya Arman.
Alvian menggeleng.
"Haus daddy..." ujarnya.
Arman mengangguk. Dia mengajak putranya turun ke bawah. Arman menuang sisa air rebusah buah pear yang dia simpan di termos. Arman memberikan air itu kepada Alvian. Sesekali Arman menguap. Langit masih gelap. Mungkin baru jam 4 pagi. Saat Alvian sudah meminum air itu, Arman kembali naik ke atas.
Dia berpindah arah tidur lagi dan kembali memeluk putranya. Arman bahkan masih sempat memeriksa suhu badan putranya. Beruntung suhu badan anak itu sudah kembali normal walau anak itu masih terbatuk dan bersin kadang-kadang. Anak itu juga masih sulit menelan air tadi.
Arman menepuk-nepuk punggung Alvian dan mencium puncak kepala Alvian dengan sayang.
"Tidur lagi, nak. Biar cepat sembuh," ujar Arman.
Alvian menyamankan diri di pelukan ayahnya. Dia masih enggan menghadap ke arah lain selain badan ayahnya yang terlapisi kaus berwarna biru muda. Tangan Alvian masih menggenggam kaus Arman. Perlahan mata Alvian terpejam karena usapan lembut di kepalanya.
Alvian dan Arman mau mau terlelap kembali saat suara petir menggelar dengan keras hingga Alvian terlonjak kaget. Arman sendiri juga sebenarnya terkejut. Arman mengusap kembali punggung putranya dengan sayang. Dia mencoba mengurangi rasa terkejut yang dialami putranya.
"Tidak apa-apa. Ada daddy," ujar Arman lagi.
Arman bisa merasakan jantung putranya berdegub dengan lumayan cepat akibat suara guntur tadi. Akhirnya, Arman memilih menggendong putranya dan pindah ke kamar anak-anaknya saja. Dia baru ingat kalau kamarnya lebih kurang kedap suara dibanding kamar ketiga anaknya. Arman membaringkan Alvian di ranjang anak itu. Dia kembali memeluk Alvian dan mengusap punggungnya.
Setidaknya, suara guntur tidak lagi terdengar keras dari kamar ini. Arman memejamkan matanya saat dia merasakan anaknya sudah terlelap pulas. Dia harus bangun jam 7 pagi nanti. Walaupun tidak ke kantor, Arman harus menghangatkan makanan untuk anaknya.
"Besok, Alvian tidak usah sekolah saja lah," gumam Arman.
........
"Alvian... tidak usah ke sekolah ya?" Bujuk Arman.
"Tidak mau..."
"Sayang..."
"Alvian ada ulangan daddy. Alvian tidak mau ulangan susulan,"
Arman dibuat sakit kepala dengan kekeras kepalaan putranya. Berdebat alot akhirnya, Arman setuju. Dengan catatan, jika Alvian pusing dia harus memberitahu wali kelasnya. Alvian langsung mengangguk dan memakan sarapannya. Selesai memakan sarapannya dia meminum obat dan memakan jelly buatan ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS#2] Between Me, You and Work
Teen FictionCerita ini seri kedua dari Dimitra series. menceritakan putra kedua keluarga Dimitra yang berprofesi sebagai Chairman dari perusahaan besar milik keluarga Dimitra yang diwariskan oleh ayahnya. "Siapa dia?" "Karyawan magang sir..." 'Menarik' Rate 16+