Dua hari lewat dan Arman masih tidak melihat kakaknya datang. Maka dari itu, Arman berkeras diri tidak lagi mau menerima obat apapun masuk ke dalam badannya. Padahal, selama ini Arman bisa duduk dan tidak merasakan sakit itu karena obat pereda nyeri yang perawat suntikan ke infus Arman atas perintah Arsen.
Efek dari melewatkan obat yang masuk ke badannya selama empat hari mulai dirasakan Arman. Arman mulai merasakan nyeri di tulang punggungnya. Sangat menyakitkan. Meski bagian tulang pinggang ke bawah tidak bisa merasakan apapun, namun bagian punggung sampai ke lehernya merasakan sakit yang luar biasa.
'Gila! Kenapa sakitnya sampai seperti ini?!' Jerit Arman dalam hatinya.
Arman meremas kuat selimutnya. Rasa sakit di tulang punggungnya benar-benar tidak bisa dianggap remeh. Mendengar pintu terbuka, Arman memilih diam dan tidak melakukan apapun dia menyembunyikan rasa sakitnya.
"Kak," panggilan itu membuat Arman semakin mengeraskan diri.
"Pergi," usir Arman.
"Jangan seperti ini! Kami belum bisa menemukan kak Ardan. Kalau kami menemukannya kami akan menyuruhnya kembali. Kak... please, jangan seperti ini! Kakak hanya menyiksa diri sendiri,"
"Pergi,"
Arsen menghela napasnya dengan gusar. Pasalnya, dia bisa mendengar suara kakaknya sedikit bergetar akibat menahan sakit. Namun pada akhirnya, dia memilih mundur. Arsen keluar dan berencana kembali lagi nanti. Mungkin saat itu sang kakak sudah lebih tenang.
Arman berubah. Tabiatnya menjadi lebih kasar dan keras. Apapun yang tidak sesuai keinginannya, dia akan mengamuk dan memarahi semua orang. Tak terkecuali Natasha. Jika sudah terkena semprotan maut dari Arman, Natasha hanya bisa tersenyum dan mendudukkan diri di sofa. Saat emosi Arman sudah kembali normal, Arman sendiri yang akan meminta maaf padanya.
"Kakak tidak mau datang atau mereka yang tidak mengizinkan kakak datang?" Gumam Arman.
Arman tidak mau menunggu kakaknya terus di atas tempat tidur tanpa melakukan apapun. Jika sang kakak tidak mau datang, Arman yang akan mencarinya. Dengan nekat Arman memindahkan kedua kakinya ke sisi kiri ranjang rawatnya. Dia melepaskan jarum infus di tangan kanannya. Arman mencoba berdiri dengan segenap tenaganya. Tangan kirinya dia letakan di atas nakas. Dengan sekuat tenaga Arman menjadikan tangan kirinya sebagai penopangnya.
Brakkk!
"Arrrgghhhh!"
Bukannya berdiri, Arman malah terjatuh dan kepalanya membentur lantai dengan sangat keras. Arman merasakan pandangannya berputar, kepalanya berat, dan warna di depan matanya berubah menjadi merah sebelun akhirnya matanya terpejam.
"K..a..k.."
...................
Gelap. Lagi-lagi hanya itu yang Arman lihat. Seingatnya dia terjatuh dan kepalanya membentur lantai dengan sangat keras. Lantas, kenapa dia tidak merasakan sakit?
"Ini dimana?" Gumam Arman.
Arman duduk dan menekuk lututnya. Sejenak dia terkejut saat melihat kakinya bisa dia rasakan dan gerakkan. Arman memeluk kedua lututnya dan menumpukan keningnya di kedua lututnya itu. Senandung kecil dari suara lembut seseorang membuat Arman mengangkat kepalanya. Arman menoleh ke kanan dan kiri demi mencari asal suara itu. Suara yang sangat lembut dan merdu.
"Seperti pernah mendengarnya. Tapi, dimana?" Guman Arman sambil mengingat-ingat suara itu.
"Ah!" Arman menjentikkan jarinya.
Arman segera berdiri dan berlari mengikuti suara itu. Saat itulah, dia menemukan sebuah cahaya dan dia berlari ke arah cahaya itu. Angin berhembus kuat saat Arman menginjakkan kaki di cahaya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS#2] Between Me, You and Work
Novela JuvenilCerita ini seri kedua dari Dimitra series. menceritakan putra kedua keluarga Dimitra yang berprofesi sebagai Chairman dari perusahaan besar milik keluarga Dimitra yang diwariskan oleh ayahnya. "Siapa dia?" "Karyawan magang sir..." 'Menarik' Rate 16+