"Bagaimana?"
Hanya satu kata yang keluar dari mulut Arman dan Bian langsung menunduk. Bian merasa walaupun kini tuannya itu tidak menatap ke arahnya namun, aura yang dikeluarkan tuannya sangat menyeramkan.
"Maaf tuan. Kami belum menemukannya," jawab bian takut-takut.
Bian melihat tangan tuannya terkepal kuat. Bian akui jika tuannya murka, dia tidak akan menyalahkan tuannya. Pasalnya, dia dan beberapa orang milik Ardan tidak bisa menemukan siapa dalang di balik kecelakaan yang menimpa anak bungsu tuannya.
Tuannya sendiri sudah tiga hari duduk di sebelah ranjang rawat demi menjaga si bungsu yang tidak bangun-bangun juga. Bahkan tuannya hanya makan sebuah sandwich untuk menganti asupan makanan yang biasa dia makan. Bian melihat tangan tuannya bergerak. Tuannya menyuruh dia keluar.
Arman memejamkan matanya dan menarik napasnya dalam-dalam saat mendengar suara pintu tertutup. Sudah tiga hari dia tidak tidur. Arman tidak berani untuk tidur. Dia terus terjaga. Bahkan saat dia menbersihkan diri, dia akan menahan Arsen di sebelah putranya.
Arman hanya makan sehari sekali dan hanya sebuah sandwich. Dia tidak lagi berselera makan. Arman memajukan badannya, dia menggenggam jemari putranya.
"Alden, daddy tahu kamu sedang mengambek pada daddy. Tapi daddy mohon nak, bangun, ya?" Ujar Arman.
"Daddy minta maaf sudah membentak kamu kemarin. Bangun ya, nak, jangan marah lagi pada daddy," pinta Arman.
Arman menghela kecil. Putranya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Arman mengusap punggung tangan putranya dengan perlahan. Dia sebenarnya ingin mencari pelaku yang sudah membuat putranya menderita seperti ini. Hanya saja, dia tidak berani meninggalkan putranya.
"Alden... daddy mohon, bangun..." pinta Arman lagi.
Arman menunggui Alden dengan sabar. Dia selalu mengelap wajah, tangan, dan kaki Alden dengan handuk hangat setiap pagi dan sore. Seperti sekarang, dia sedang mengelap kaki putranya dengan perlahan menggunakan handuk hangat. Dia mengigit bagian dalam bibir bawahnya saat melihat luka jahitan panjang di kaki putranya. Memang kaki putranya sobek karena tergores besi mobil.
"Maafkan daddy, Alden..." ujar Arman dengan suara bergetar.
Selesai mengelap tangan dan kaki putranya, Arman kembali duduk di sebelah Alden. Dia menatap wajah putra bungsunya. Dia sedikit terkejut saat mendengar suara pintu terbuka. Arman diam saja saat sepasang tangan ramping melingkari lehernya.
"Maafkan aku, Asha. Aku tidak bisa menjaga anak kita," ujar Arman dengan lirih.
Arman merasakan pundak kanannya sedikit berat. Dia mengecup pipi kanan Arman.
"Bukan salahmu. Kamu sudah berusaha sebaik mungkin untuk menjaga anak-anak," ujar Natasha.
Arman menundukkan kepalanya dan Natasha mengeratkan pelukannya. Dia tahu Arman sering menangis jika dia hanya berdua dengan Alden. Dia hanya tidak mau menangis di depan anak-anak mereka. Bukannya Arman takut dibilang lemah, dia hanya tidak mau kedua putranya ikut gusar dan merasa tidak memiliki tempat untuk bersandar.
Arman mengatur napasnya dan mengusap pipinya. Tidak lama berselang, kedua putranya yang lain datang. Mereka langsung memeluk Arman dan melihat adik mereka. Arman langsung berdiri dan memilih bersandar di kusen jendela.
"Kenapa Alden belum bangun, dad?" Tanya Alvian.
Arman tersenyum kecil. Dia mendekati Alvian dan mengusap puncak kepala putranya itu.
"Alden sedang istirahat. Dia mungkin lelah setelah berkelahi dengan daddy,"
"Ini sudah tiga bulan, dad... bahkan pelakunya saja sudah mendapat ganjaran dari daddy,"
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS#2] Between Me, You and Work
Teen FictionCerita ini seri kedua dari Dimitra series. menceritakan putra kedua keluarga Dimitra yang berprofesi sebagai Chairman dari perusahaan besar milik keluarga Dimitra yang diwariskan oleh ayahnya. "Siapa dia?" "Karyawan magang sir..." 'Menarik' Rate 16+