Arman duduk di ruangan kantornya. Hari ini pekerjaannya membuat dia tidak bisa makan siang di rumah. Padahal Arman menginginkan makan siang bersama tiga jagoannya. Arman menghela kecil. Dia memilih ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya sejenak.
Arman kembali sambil mengusap wajahnya dengan handuk. Arman ingin pulang. Namun, tanggung jawab terhadap pekerjaan tidak bisa dia tinggal begitu saja.
Bruk!
Arman terkejut. Dia menunduk dan melihat pinggangnya dipeluk oleh tiga pasang lengan kecil. Arman tersenyum setelahnya. Kedua tangannya mengusap helaian cokelat tua di kepala ketiga anak yang kini sedang memeluk pinggangnya.
"Hai, daddy!" Sapa Alden.
"Hai jagoan," Arman menyapa balik sambil tersenyum lembut pada ketiga anak itu.
Arman mengajak mereka duduk di sofa. Arman duduk di tengah-tengah sementara ketiga anak itu duduk di sisi kanan dan kirinya.
"Kalian kesini dengan siapa?"
"Dengan paman," ujar Alden
"Paman?"
"Paman yang biasa menjemput kami," kali ini Alvian yang menyahut.
"Mommy bilang akan menyusul kesini," ujar Albern.
Arman mengangguk. Dia mengusap sayang kepala ketiga putranya secara bergantian. Lalu, dia menyuruh putranya berganti pakaian dulu.
"Kak, apa masih sakit?" Tanya Arman pada putra sulungnya.
Albern yang sedang melepas kemeja seragamnya itu menggeleng kecil.
"Tidak terlalu. Tapi, aku tidak bisa pakai kaus,"
Arman mengangguk. Dia paham dan tahu kalau putranya masih merasakan sakit walau tidak terlalu terasa.
"Lain kali hati-hati. Daddy khawatir melihatmu seperti ini," ujar Arman.
Ketiga anak itu mengangguk bersamaan. Albern mendekat saat Arman memintanya mendekat. Arman mengambil kemeja bersih milik putranya dan dia memakaikan kemeja itu. Arman menggigit bagian dalam bibir bawahnya saat dia melihat bekas luka di punggung Albern. Kelalaian dan kebodohannya dulu.
"Daddy?" Albern memanggil Arman dengan nada bingung.
Arman bahkan tidak sadar kalau Albern sudah berbalik dengan kemeja yang Albern sendiri yang memakainya. Saat tangan kecil itu memeluk lehernya dia baru tersadar dari lamunannya.
"Albern tidak apa-apa," ujar Albern di leher Arman.
Arman memeluk Albern. Menggumamkan maaf pada putranya beberapa kali. Sungguh setiap melihat bekas di punggung putranya, dia merasa dirinya sangat bodoh dan lalai. Arman tidak pernah selalai itu dan dia lalai disaat tidak tepat.
"Maaf. Waktu itu kamu pasti sangat kesakitan," ujar Arman.
"Albern sudah lupa. Sudah tidak ingat lagi. Daddy juga jangan ingat lagi,"
"Albern..."
"Kata om Arsen, daddy menangis waktu itu. Tapi, Albern sekarang sudah tidak apa-apa," ujar Albern.
Arman mengeratkan pelukannya. Putranya sudah beranjak dari masa kanak-kanak. Anak itu memiliki pemikiran yang luas. Dia bahkan bisa mengatakan hal itu saat usianya baru delapan tahun.
"Kamu menangis sangat kencang saat itu. Pasti saat itu sangat menyakitkan,"
Albern menjauhkan badannya dan menatap ayahnya dengan wajah yang nampak sedang berpikir.
"Hmmm...." Albern memiringkan sedikit kepalanya.
"Albern sudah lupa," ujarnya dengan senyum yang hanya khusus untuk keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS#2] Between Me, You and Work
Teen FictionCerita ini seri kedua dari Dimitra series. menceritakan putra kedua keluarga Dimitra yang berprofesi sebagai Chairman dari perusahaan besar milik keluarga Dimitra yang diwariskan oleh ayahnya. "Siapa dia?" "Karyawan magang sir..." 'Menarik' Rate 16+