Cakra menatap seisi kelasnya dengan pandangan menarik. Diam-diam ia menarik senyuman tipis. Ia rasa ini adalah kelas yang cocok untuknya. Teman-teman barunya terasa hangat dan menyenangkan. Cakra kemudian menoleh sedetik setelah bahunya menerima tepukan dari Zidan, teman sebangkunya.
"Iya?"
"Mau ikut ke kantin bareng nggak? Tuh anak-anak pada mau ke sana," tawar Zidan kepada Cakra sambil menunjuk sekumpulan para cowok yang sedang berdiri di ambang pintu kelas. Tatapan mereka terarah ke bangkunya, yang Cakra simpulkan sendiri bahwa mereka sedang menunggunya.
Cakra meringis sejenak sambil mengusap tangannya. Ia menggeleng pelan. "Duluan aja, aku belum lapar."
Kebohongan besar yang Cakra ungkapkan pagi ini. Ia tentu saja lapar, bahkan cacing-cacing diperutnya sudah kelabakan minta disuapi makanan. Hanya saja Cakra bukan tipe orang yang mudah bergaul dengan orang lain. Ia perlu waktu untuk ini. Semoga saja Zidan dan teman-temannya yang lain bisa mengerti.
"Yakin lo nggak mau ikut?"
Mengangguk singkat, Cakra kembali menatap Zidan. Pendiriannya kuat, sekali bilang tidak, Cakra akan terus teguh. "Iya."
"Oke, gue tinggal, ya?" Zidan menepuk pundak Cakra beberapa saat. Ia tersenyum tipis dan mulai bangkit dari duduknya, berjalan menuju teman-temannya.
Sepeninggalan mereka, Cakra tetap duduk dibangkunya. Tatapannya beralih ke arah jendela yang langsung memperlihatkan pandangan di luar. Kelas Cakra berada di lantai dua. Ia mendesah panjang dan menyandarkan punggungnya ke kursi.
Entah kenapa ingatannya tiba-tiba mengarah ke arah cewek tadi pagi, cewek yang sudah menolongnya mencari kelasnya tanpa diminta. Cakra yakin ia pernah melihatnya, tapi Cakra tidak ingat sama sekali kapan dan di mana tempatnya. Pusing sendiri, Cakra mengacak rambutnya.
***
"Duh Inez, buruan dong ah!" Ghea tidak berhenti mengomel. Sudah sepuluh menit Inez berkutat dengan alat make-up padahal siswa hanya diberi waktu lima belas menit untuk istirahat.
"Bentar, tinggal make lipstik," ujar Inez jujur, tanpa merasa bersalah karena Ghea sudah menunggunya. Cewek itu kini mengambil cermin kecil yang selalu ia bawa ke mana-mana, lalu membubuhkan lipstik berwarna nude ke bibirnya.
Ghea berdecak jengkel dan melipat kedua tangannya didepan dadaa. "Kita cuma mau ke kantin Inez, bukan mau pergi kencan buta! Buruan dong, bisa-bisa waktunya habis. Tinggal lima menit lagi astaga."
"Sabar, bentar lagi Ghea sayang." Inez tersenyum lebar. "Gue lupa maka softlens tadi pagi karena buru-buru, kasih gue waktu beberapa menit doang."
"Alasan mulu lo ah dari tadi," omel Ghea lagi. Ia tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. "Tadi ngomongnya tinggal make lipstik, sebelumnya ngomong cuma make eyes shadow, sekarang pake softlens segala. Habis ini jangan ngomong lo mau catok rambut lo biar bergelombang?!"
"Emang iya."
"What?!" Ghea berteriak kencang sambil mengebrak meja. Gerakan super sarkasnya itu membuat Inez menatapnya dengan sorot mata sebal.
"Nggak usah berlebihan gitu responnya," protes Inez seraya memutar bola matanya. "Bentar lagi gue selesai, orang sabar pahalanya gede, disayang Tuhan pula. Ingat kata-kata itu biar lo nggak ngomel mulu."
"Nungguin lo dandan sampe waktu istirahat habis gini mana bisa gue sabar Inez?! Nyebelin lo. Nggak usah dandan, lo udah kelihatan cantik."
"Biar lebih cantik."
"Terserah lo deh," putus Ghea akhirnya, ia pasrah dan langsung duduk lagi dikursinya. Ia menghindari tatapan Inez, ia lagi malas berdebat lagi, lagipula beberapa menit lagi sudah bel masuk pergantian pelajaran. Tidak ada gunanya kalau sekarang pergi ke kantin. Mana sempat, keburu telat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Overdramatic (END)
Teen Fiction"Kamu minum berapa gelas sih? Mulut kamu bau banget tau nggak?" Cakra bertanya dengan satu tangan yang menutupi hidung dan mulutnya. Dahinya berkenyit bingung. "Jalan sama gue dulu, baru gue bakal jawab gue minum berapa," jawab Inez ngawur. Hal itu...