17

2.2K 140 3
                                    

"Lah, gimana ceritanya sepatu di sol bisa jadi baru gini?" Zidan menunjukkan ekspresi kebingungan ketika tidak sengaja menunduk dan melihat sepatu Cakra. Dengan gerakan kilat, Zidan menyipitkan matanya, memperhatikan Cakra yang sudah menatapnya.

"Kenapa?"

"Sepatu lo kok jadi baru?" tanya Zidan lagi. "Tukang sol mana tuh? Gue juga mau kali kalo gini caranya. Banyak banget tuh sepatu jebol gue di rumah," cerocosnya tanpa henti.

Cakra memperhatikan sepatu yang dikenakannya seperkian detik. Lalu kembali menoleh kepada Zidan. Senyuman usil tercetak dibibirnya. "Hebat banget emang tuh tukang sol sepatu. Aku niatnya juga mau ke sana lagi, ada beberapa doang tuh di rumah yang udah nggak bisa di pakai. Rusak parah."

Zidan berbinar, tubuhnya mencondong ke arah Cakra. "Serius mau ke sana lagi?" Zidan mengerjapkan matanya, tampak sangat tertarik. Membuat Cakra mati-matian menahan tawanya. "Kapan ke sananya? Pulang sekolah ini, ya? Fiks gue bakal ikut lo!"

Tidak tahan, Cakra pun akhirnya runtuh dari pertahanannya. Cowok itu tertawa keras, matanya menyipit, sedangkan lesung pipitnya langsung terlihat begitu jelas.

Raut kebingungan sudah terpatri di muka Zidan. Kedua alisnya yang tipis itu saling bertautan. "Kenapa lo? Kok malah ketawa?"

"Habisnya kamu aneh Dan, percayaan amat jadi orang," ujar Cakra sembari geleng-geleng tidak habis pikir. "Waktu itu aku nggak jadi cari tukang sol sepatu karena aku harus di hukum sama Bu Chika."

Ingat kejadian aksi perkelahian Cakra dan Rian beberapa hari yang lalu di kantin sekolah, membuat Zidan sedikit teralihkan. Cowok itu mendengkus pelan.

"Lo bisa nggak kontrol emosi lo dikit aja?"

"Ha?"

Zidan mengembuskan napas lelah. "Jangan cari keributan lagi. Apalagi sama Rian. Lo udah berapa kali berantem sama dia? Tiga kali woy. Jangan terlalu kepancing emosi kalo dia mulai duluan. Entar lo yang rugi sendiri. Lo juga murid masih baru di sini, jangan bikin nama lo jelek di mata guru atau siswa lain."

Cakra memutar bola matanya. "Aku nggak pernah cari gara-gara sama dia asal kamu tau Dan, dia yang mulai duluan."

"Nah maka dari itu, jangan langsung kepancing. Kalo lo sampe masuk BK lagi, Bu Chika bakal nganggep lo murid berandalan, pemberontak, nggak tau aturan, dan yang lebih parahnya lagi lo bakal dicap murid yang nggak bisa dikasih nasihat sama guru. Plis lah ... Ini demi kebaikan lo sendiri."

Cakra menanggapinya setengah malas. "Iya, aku bakal dengerin nasihat darimu."

"Gue serius woy!" Zidan geregetan menyadari Cakra yang malas menyanggupi ucapannya itu. Ia sampai menjitak kepala Cakra karena kesal sendiri, membuat Cakra melotot. "Dengerin gue Kra, jangan main-main lagi sama Rian kalo lo nggak mau getahnya."

"Aku nggak takut dengan itu," sahut Cakra.

"Nih anak, dibilangin juga masih ngeyel."

"Lah kenapa emangnya?"

Kalau tidak bisa mengontrol emosinya, tentu saja detik ini juga Zidan akan menonjok wajah Cakra. Ia sudah terpancing emosi. Tapi Zidan berusaha tenang dengan menarik napas sedalam mungkin, lalu mengeluarkannya secara pelan-pelan.

"Kra, Rian itu bakal ngincer orang yang selalu gangguin hidup dia. Intinya tuh orang preman di sini lah, ketolong sama mukanya yang cakep sih jadi banyak orang yang suka. Lihat di kelas kita, cewek-cewek juga pada naksir tuh orang."

Penjelasan Zidan seketika membuat Cakra menatap satu persatu cewek di kelasnya. "Kena pelet mungkin?"

"Mulut lo ini, bikin gue naik darah terus sumpil!" Zidan menggertakkan giginya gemas seraya memberikan Cakra pelototan matanya.

Overdramatic (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang