37

1.2K 77 0
                                    

"Lo mending diem aja deh Ghe, udah berapa kali sih gue bilang dan nekanin ke elo kalo gue nggak bakal suka Rian. Sampai kapan pun itu."

Ghea berusaha untuk sabar, ia menghela napas kuat-kuat sembari menggeleng pelan. "Gue nggak maksa lo Nez, gue cuma ngomong kalo lo pikirin baik-baik soal ini," ucap Ghea tenang. Memejamkan matanya sejenak, Ghea melanjutkan dengan volume suara lebih rendah daripada sebelumnya. "Gue cuma pengin lo pikirin ini mateng-mateng Nez. Apa perjuangan kak Rian belum cukup buat lo?"

Inez tertawa hambar sembari mengibaskan tangannya. "Salah dia sendiri dong, gue kan udah bilang kalo apa yang Rian lakuin itu cuma bakal sia-sia dan ngabisin waktu dia aja. Tapi apa? Dia malah nggak mau dengerin omongan gue. Yang salah bukan gue dong di sini." Inez tersenyum lebar sembari mengendikkan bahunya. "Bukannya seharusnya Rian cukup pinter buat menelaah penolakan gue? Harusnya dia ngerti kalo sampai kapanpun gue nggak suka dia."

"Tapi apa salah lo kasih dia harapan Nez, sedikit aja, nggak lebih. Setidaknya bikin kak Rian seneng. Walaupun nggak lama." Ghea tetap bertahan pada posisinya untuk membela Rian.

Inez menggeleng pelan. "Lagi-lagi masalah hati, gue nggak bisa maksa hati gue." Inez berucap masa bodo, kemudian ia mengambil ransel dan memakainya. Kemudian ia berdiri dari duduknya sambil menepuk pelan pundak Ghea. "Gue balik duluan ya, Babay! Sampai ketemu besok lagi Ghe."

Ghea merapatkan bibirnya, ia menunduk menatap meja. Napasnya keluar dengan berat, lewat mulut dan lubang hidungnya secara bersamaan. Ucapannya sama sekali tidak didengar oleh Inez. Dengan badan lemas, Ghea pun keluar dari dalam kelas.

Cewek yang selalu memakai kacamata itu berjalan menuruni anak tangga, bergerak pelan menuju lapangan basket. Biasanya kakak kelasnya yang bernama Rian ada di sana. Bermain basket seorang diri.

Dan apa yang Ghea tebak rupanya sebuah kebenaran, sudut-sudut bibirnya lantas berkedut, menciptakan senyuman manis yang samar.

"Kak Rian ganteng banget," gumam Ghea sambil memperhatikan Rian yang sedang fokus melempar bola berwarna oranye ke dalam ring basket.

Rian terlihat sangat memesona di mata Ghea. Rian kembali mendribble bola basket dengan lihai. Seluruh wajah dan leher cowok itu terlihat basah oleh keringat. Tangannya pun demikian. Cowok itu semakin terlihat menarik. Belum lagi otot lengannya yang sangat kuat terlihat lantaran saat ini Rian memakai pakaian basket berwarna merah maroon tanpa lengan.

Entah sejak kapan Ghea sangat mengagumi Rian, cewek itu sendiripun tidak tahu. Mungkin karena Rian sering menemui Inez, secara tidak langsung juga Ghea bertemu dengan cowok itu.

Menyadari setiap penolakan yang Inez berikan untuk Rian membuat ia merasa kasihan kepada kakak kelasnya itu. Menurutnya, Inez sendiri juga terlalu berlebihan. Rian tidak seburuk itu.

Kalau Inez menolak Rian terus seperti itu, bolehkah jika Ghea yang menggantikan posisi Inez?

Terus memikirkan Rian membuat Ghea tidak sadar bahwa jaraknya dengan lapangan sudah ada di depan mata. Ia terlalu lama melamun.

"AWAS!"

Teriakan tiba-tiba tersebut membuat Ghea terkaget-kaget, matanya mengerjap. Ia menatap ke depan, melotot ketika sebuah bola melayang begitu cepat ke arahnya. Ghea tidak mempunyai waktu untuk menghindar, cewek itu lantas memejamkan matanya kuat-kuat sambil berteriak kencang.

Duk!

Bola berwarna oranye itu menghantam keras kepada Ghea, membuat cewek itu terhuyung, kemudian jatuh dengan kedua tangan yang mendarat terlebih dahulu. Ghea memekik keras, mengaduh kesakitan. Rasa perih secara mendadak menjajar di telapak tangannya, dan ketika ia melihatnya, darah segar muncul dari kulitnya yang sobek. Belum lagi kepalanya yang terasa nyut-nyutan.

Overdramatic (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang