"Sumpah ya Nez, gue nggak habis pikir sama apa yang ada dipikiran lo tau nggak?" Ghea mengomel kepada Inez setelah menyuapi mulutnya dengan siomay yang baru habis setengah. Tatapan sinisnya ditujukan untuk Inez.
Ghea kemudian mengambil gelas yang berisi jus mangga kesukaannya, lalu menenggaknya beberapa teguk. Setelah selesai, ia kembali berkata, membuat Inez memutar bola matanya dan mendesah panjang.
"Bukan apa, tapi lo emang terlalu jahat Nez. Lo berlebihan, lo keterlaluan, lo egois, lo nggak ngehargai perasaan orang lain. Dan elo—
Inez menggebrak meja cukup kuat, membuat beberapa pasang mata yang berada di dekatnya sempat menoleh. Keheningan beberapa saat mengambil alih suasana. Ghea yang paling merasa kaget dengan apa yang Inez lakukan.
Ghea melotot dan langsung mengunci mulutnya. Tatapannya mengarah lurus ke arah wajah Inez yang tegang. Beberapa detik setelah semua siswa berkutat pada aktivitas masing-masing, Inez menarik napas panjang sembari memejamkan matanya.
"Terus aja lo sebut kesalahan gue satu persatu," ucap Inez kesal, menatap Ghea dengan matanya yang berkilat tajam.
Ghea meletakkan garpu di piring sambil melengos ke samping. "Sekarang lo jujur sama gue, lo merasa bersalah nggak?"
"Kenapa gue harus?" terjang Inez, sama sekali tidak berpikir terlebih dahulu untuk mencerna ucapan Ghea.
"Dan lo malah nanya itu?" Ghea memicingkan matanya, kemudian terkekeh kecil. Ia tidak habis pikir dengan sahabatnya ini. "Harusnya lo ngerasa bersalah Nez. Kak Rian kayak gitu karena dia suka sama lo, dia tulus sama lo Inez. Lo sadar dong!"
Inez tersenyum miring mendengar perkataan Ghea. Ia meminum minumannya sejenak. "Dan lo tau kan kalo gue nggak suka sama dia? Kenapa lo marah-marah sama gue, perasaan nggak bisa dipaksa, harusnya lo ngerti."
"Iya gue tau kalo soal itu," bantah Ghea. "Gue paham kalo perasaan itu emang nggak bisa dipaksain. Ya tapi kan—
"Tapi apa?" Dengan cepat Inez memotong ucapan Ghea.
Ghea mengeluarkan napas pelan-pelan. "Cara yang elo pakai itu salah Inez. Lo harusnya tau itu. Ngerti nggak sih gue ngomong? Kalo lo nggak mau nerima coklat itu, ya elo tinggal bilang nggak mau. Terus kelar, bukan malah bikin kak Rian seneng dulu tapi ujung-ujungnya lo buang juga tuh cokelat. Sakit banget tau nggak rasanya. Kalo gue ada diposisi kak Rian, gue mungkin kecewa banget sama lo."
"Sakit hati?" tanya Inez, sedetil kemudian ia tertawa hambar. Ia geleng-geleng kepala. "Tau apa dia soal hati? Emangnya dia punya hati?"
"Kalo nggak punya, kenapa dia ngejar-ngejar lo dari lo baru masuk ke sini? Dia suka lo ya pakai hati."
Inez terdiam.
"Coba deh Nez lo buka sedikit hati lo buat kak Rian. Lo nggak kasihan sama dia emangnya? Dia nggak capek walaupun lo tolak mulu. Mana ada cowok yang kayak gitu, kalo gue jadi lo aja, gue udah terima tuh kak Rian. Udah ganteng, populer, ketua basket, tajir pula. Kurang apa lagi coba?"
"Kurang akhlak," celetuk Inez asal sambil mengunyah siomaynya.
"Ish!" Ghea mencebikkan bibirnya kesal. "Nyesel entar lo nolak kak Rian. Banyak yang ngantri mau jadi pacarnya lho. Yakin nggak mau pacaran sama kak Rian? Kak Rian tinggal pilih aja kalo mau cari pengganti elo."
"Penting buat gue?" balas Inez, ia menatap Ghea tidak minat.
"Banget elah, dan lo harus ingat satu hal Nez." Ghea mengambil napas dalam-dalam. "Penyesalan cuma ada diakhir."
Inez memajukan wajahnya, bibirnya terbuka, "Dan gue nggak akan pernah nyesel sama keputusan gue," ujarnya sambil mengunci senyuman menariknya.
"Tapi tetep aja lo udah keterlaluan buang barang pemberian kak Rian, kan sayang juga tuh cokelat di buang, buat gue aja tadinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Overdramatic (END)
Teen Fiction"Kamu minum berapa gelas sih? Mulut kamu bau banget tau nggak?" Cakra bertanya dengan satu tangan yang menutupi hidung dan mulutnya. Dahinya berkenyit bingung. "Jalan sama gue dulu, baru gue bakal jawab gue minum berapa," jawab Inez ngawur. Hal itu...