23

1.5K 62 3
                                    

Inez bisa merasakan apa yang Cakra alami. Ia paham perasaan cowok itu. Sembari tersenyum kecil, Inez menepuk-nepuk pelan punggung Cakra. Bermaksud untuk menenangkan cowok itu. Menyadari usapan Inez membuat Cakra terkejut seperkian detik, tapi cowok itu membiarkannya. Ia merasa lebih baik.

"Gue paham apa yang lo rasain."

"Kamu nggak paham, kamu nggak ngalamin secara langsung."

"Seenggaknya gue masih punya hati, jadi apa yang lo rasain gue juga bisa. Gue yakin nenek lo nggak bakal marah sama lo kalo lo ngomong jujur. Nenek lo pasti lebih percaya sama omongan lo. Nenek lo lebih tahu siapa diri lo sebenarnya Cakra. Tanpa ngomong apapun, nenek lo pasti udah tahu kalo cucunya ini nggak salah."

"Kenapa kamu ngomong gitu?"

"Percaya sama omongan gue, nenek lo nggak bakal kecewa atau marah sama lo." Inez meyakinkan. "Gue jamin itu."

Cakra mendesah panjang. Ia akui apa yang dikatakan Inez ada benarnya. Cowok itu diam-diam menerbitkan senyuman tipisnya. "Kamu bener, nenek nggak marah sama aku."

Inez semringah. "Nah gitu dong jangan mikir yang enggak-enggak dulu."

"Aku pernah ngalamin hal yang agak serupa kayak gini. Mau dengerin?"

"Asal bikin lo nyaman setelah cerita, gue bakal dengerin kok," jawab Inez sembari mengukir senyum indahnya. Ia menyelipkan beberapa helai anak rambutnya ke arah belakang telinga.

Cakra mengangguk mengerti, sembari menatap ke arah depan dan menerawang jauh, cowok itu mulai menyusun kalimat di dalam tempurung kepalanya. Hingga akhirnya kata-kata itu meluncur, membuat Inez terpaku, matanya tidak lepas dari wajah Cakra.

"Aku pindah ke sini karena aku ada masalah sama sekolahku yang dulu." Cakra memberikan jeda sejenak, kembali mengingat potongan memori yang sebenarnya ingin ia kubur dalam-dalam dan tidak mengingatnya lagi. Cakra tersenyum getir.

"Aku dituduh membuat sesuatu kesalahan yang aku sendiri nggak ngelakuin sama sekali. Persis seperti yang sedang aku alami sekarang ini. Bedanya, masalah rokook ini masih bisa aku atasi dan terima dengan ikhlas. Sedangkan masalah yang aku tanggung dulu ...."

Cakra kehabisan napas, cowok itu menarik napas sebanyak mungkin, mengumpulkannya di dalam paru-parunya. Suaranya semakin lama terdengar bergetar dan lirih. Cowok itu memejamkan matanya dan menunduk memandangi sepatunya, sepatu pemberian Inez lebih tepatnya.

"Aku emang nggak punya apa-apa, aku cuma punya nenek. Aku berbeda sama mereka yang tinggal bilang ke orang tuanya kalo kepengin sesuatu. Sedangkan aku harus berusaha sendiri untuk beli barang yang aku mau, itu pun kalo sempat dan uangnya ada. Kebutuhan rumah lebih banyak dan lebih diutamakan. Aku bukannya itu Nez, tapi ..."

Cakra merapatkan bibirnya, tangannya terkepal kuat, sedangkan matanya sudah mulai terasa memanas. Inez hanya diam meskipun melihat Cakra yang sedang bergulat dengan batinnya. Lebih tepatnya Inez bingung harus melakukan apa. Ia terlaku takut untuk berucap, setidaknya untuk saat ini. Sampai akhirnya Cakra menoleh ke arahnya, menatapnya dengan kedua matanya yang terlihat memerah.

"Aku miskin, tapi bukan berarti mereka semena-mena nyalahin aku yang nyuri jam tangan mahal itu. Aku bukan pencuri, tapi keberadaan barang mahal itu di dalam tas membuat aku di DO dari sana. Nggak semua orang yang nggak punya apa-apa bakal ngelakuinnya hal itu."

Ada jeda cukup lama setelah itu, hingga Cakra kembali berucap, menyambung kalimatnya yang belum tuntas sama sekali. "Jangan heran kenapa cuma gara-gara jam tangan aku sampai di DO dari sana," ujarnya sambil tersenyum getir. Seolah ia tahu apa yang ada dipikirkan Inez saat ini. "Orang kaya emang bisa ngelakuin apa aja dengan uangnya. Sampai aku sendiri yang harus kena imbasnya. Aku nggak tahu siapa yang sengaja masukin jam tangan itu ke dalam tas, tapi siapapun dia, aku harap saat ini dia sadar bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan yang semestinya nggak dia lakukan."

Overdramatic (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang