45

1.3K 50 2
                                    

"Entar malam, kita mampir ke club malam yuk? Lo mau, kan?" Dengan senyuman nakalnya, Inez mengejutkan Cakra dengan pertanyaan sensitif seperti itu. Inez menaikturunkan alisnya, menggoda Cakra. Sementara cowok itu sudah melotot lebar.

Mimik wajah Cakra membuat Inez seketika saja menyemburkan tawanya. Cewek itu tertawa lebar, ekspresi Cakra benar-benar mengocok perutnya. Seperkian detik setelah tawanya terhenti, Inez menggelengkan kepalanya.

"Nggak usah serius gitu nanggepin ucapan gue, gue cuma becanda kok." Inez terkekeh kembali. Cakra yang sebelumnya kaget dan hendak melayangkannya sebuah protes, lantas ia mendengkus panjang.

"Nggak lucu Nez," ucap Cakra pelan, "aku nggak mau ke tempat begituan."

"Iya, gue paham kok. Lo bukan cowok nakal. Lo beda, dan entah kenapa gue suka sama lo."

"Jangan pergi ke tempat begituan lagi Nez, aku nggak suka ya! Itu tempat bahaya. Kalo kamu sampai mabuk-mabukan lagi, kamu yang nanggung resikonya."

"Iya iya, gue paham. Gue nggak bakal pergi ke sana lagi," jawab Inez setengah malas menanggapi perkataan cowok itu.

Respons Inez yang terkesan main-main membuat Cakra mendesah pelan. Cowok itu menajamkan sorot matanya, menatap Inez lebih fokus dan tajam. "Aku serius Nez."

Seperkian detik Inez termenung. Ia menatap Cakra lurus-lurus, sampai akhirnya ia pun mengangguk pelan. "Iya, gue nggak bakal ke tempat itu. Demi lo."

"Jangan demi aku. Janji pada diri kamu sendiri," tukas Cakra cepat.

"Gue janji pada diri gue sendiri nggak bakal pergi ke club lagi. Udah, sekarang salah lagi?"

"Nggak ada yang salah." Cakra membalas seraya menggelengkan kepalanya. "Kamu janji?"

"Iya janji, demi kebaikan gue sendiri."

Entah kenapa, Inez merasa seperti terbius akan ucapan Cakra. Apa yang pacarnya itu ucapkan akan Inez turuti begitu saja. Lagipula apa yang Cakra mau sama sekali tidak merugikan Inez sendiri. Bahkan, itu semua demi kebaikan Inez sendiri. Tidak ada hubungannya dengan Cakra sama sekali.

"Makasih." Cakra mengangkat sudut-sudut bibirnya, menciptakan sebuah senyuman yang sangat manis. Dan Inez menyukai satu hal ini, karena menurutnya, ketampanan Cakra akan meningkat drastis jika memamerkan senyumannya.

"Ya udah, terus menurut lo kita enaknya pergi ke mana?" tanya Inez kemudian. Satu alisnya menukik satu ke atas, tatapannya ia lempar kembali ke arah wajah Cakra, menunggu jawaban dari cowok yang memakai kemeja berwarna biru dongker dengan lengan kemeja yang digulung sampai sebatas sikutnya.

"Ke rumahku dulu aja gimana Nez? Aku mau mandi, badanku lengket banget. Kamu keberatan?" usul Cakra.

Inez mengangguk dengan cepat tanpa pikir panjang terlebih dahulu. "Gue rasa itu perlu, lo juga kelihatan kusut banget. Oke, gue nggak keberatan kok. Lagipula gue juga pengin lihat rumah lo."

"Mungkin bakal lama nyampenya, aku naik sepeda soalnya."

"Nggak masalah dong, gue juga pengin naik sepeda bareng lo. Gue juga udah lama banget nggak pernah naik sepeda. Terakhir kali kapan, ya?" Inez menerawang sebentar, mengingat-ingat. Kemudian, ia mengibaskan tangannya. "Ah nggak peduli, gue lupa! Intinya udah lama banget, gue bahkan sampai nggak ingat."

Cakra merasa bahwa usul dari Inez tersebut sedikit mengusiknya. Cowok itu menatap Inez sembari meringis pelan. Bukan sebuah ide yang menurut Cakra baik bahwa Inez akan ikut naik sepeda bersamanya.

Berpikir sejenak untuk merangkai kalimat yang pas dan cocok untuk diutarakan, dengan tujuan agar Inez tidak merasa tersinggung, Cakra pun akhirnya mendesah pelan. Ia mengusap pelan tengkuknya. "Nez, aku rasa itu itu bukan ide yang bagus."

Overdramatic (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang