20

2K 116 0
                                    

"Lo dapet foto ini dari mana?" Rian menggertakkan giginya menahan kesal ketika temannya menunjukkan sebuah foto yang menunjukkan Inez berada diboncengan sepeda Cakra.

Tatapan Rian beralih dengan tajam ke arah temannya itu untuk meminta jawaban.

"Gue liat tadi malam, awalnya gue ragu bahwa itu Inez. Setau gue Inez kan orang kaya, dan lo tau lah kebanyakan orang kaya kan suka illfel dan nggak mau deket-deket sama orang miskin. Tapi setelah gue perhatiin lagi, itu beneran Inez. Jadi gue langsung buka kamera buat nunjukin ke elo."

Rian mengalihkan pandangannya dengan rahang yang sudah mengeras, tangannya pun mengepal menahan emosi. Ia kesal, seharusnya ia yang berada diposisi Cakra karena Rian yang sudah mengincar Inez terlebih dahulu, dirinya juga menunjukkan secara terang-terangan bahwa Inez adalah miliknya. Cakra sudah berani bermain-main dengan dirinya. Rian tidak akan tinggal diam. Tidak ada kata saudara lagi diantara dirinya dan Cakra. Sekarang, Cakra adalah musuhnya.

Entah kenapa, Rian merasa kalah saing dengan Cakra. Tapi ia tidak akan membiarkan Cakra lolos begitu saja untuk mendapatkan Inez. Lagipula, dari segi materi Cakra sungguh tidak memungkinkan. Yang ada Inez bakal menanggung malu berpacaran dengan cowok yang tidak memiliki apa-apa.

Rian kemudian melanjutkan langkah kakinya, namun temannya itu mengejarnya dari belakang. "Rian, tungguin gue dulu! Gue belum selesai ngomong sama lo."

Rian menghentikan gerak kakinya, kemudian menoleh dengan mata memicing. "Apa lagi?"

"Gue denger hari ini ada razia, lo nggak bawa barang macem-macem, kan?"

"Razia?" tanya Rian, mengulang ucapan temannya. "Dapet info dari mana lo?"

"Nggak sengaja denger guru ngomong tadi, lo nggak bawa rokok kan hari ini? Gawat kalo sampe ketahuan, mending lo buang tuh rokok atau umpetin di mana kalo lo emang bawa."

Rian tiba-tiba mendapatkan secercah ide yang melintas di kepalanya. Ia tersenyum miring, lalu menatap temannya. "Info lo berguna banget buat gue, thanks."

"Yoi bro, kalem aja sama gue."

"Dan gue punya sesuatu yang harus lo lakuin," kata Rian sambil memasang tampang misterius, membuat temannya tiba-tiba penasaran.

"Apa?"

Tersenyum sinis untuk yang kedua kalinya, Rian mendekatkan mulutnya ke arah telinga temannya itu, kemudian membisikan sesuatu di sana.

Setelah selesai, cowok berjaket jins tersebut memundurkan wajahnya. "Gimana? Lo bisa?"

"Gue dapet apa kalo gue berhasil jalanin apa yang lo mau?"

"Terserah lo mau apa, gue bakal turutin semuanya. Deal?" Tangan Rian terulur ke hadapan temannya itu, yang disambut dengan cepat. Untuk beberapa detik, mereka berjabat tangan.

"Gue pastikan apa yang lo mau bakal terpenuhi."

"Oke, gue pegang ucapan lo." Rian tersenyum sekilas, lalu pergi dari sana dengan tangan yang masuk ke dalam saku celananya.

Ketika ia hendak menaiki anak tangga untuk menuju kelasnya, Rian berpapasan dengan Cakra. Mereka saling pandang sejenak dengan tatapan dingin, lalu kembali fokus ke langkah masing-masing.

Rian menghentikan langkahnya, kemudian menolehkan wajahnya ke belakang, ke arah punggung Cakra yang mulai menjauh.

Masih bertahan pada posisinya, Rian tiba-tiba berseru, "tunggu!"

Merasa jika Rian berkata dengan dirinya, pergerakan kaki Cakra langsung terhenti. Lagipula di sini tidak ada siswa lain, jadi Rian memang mengajak dirinya berbicara.

Overdramatic (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang