Inez merutuki jalanan ibu kota yang selalu padat, ia tidak suka terjebak macet seperti sekarang ini. Ia berulang kali mengumpat dan membuang napas lelah. Sudah pikiran sumpek, macet, badan gerah, ditambah ada Rian yang duduk di sampingnya. Sumpah, Inez merasa sial banget sore ini.
Berbanding terbalik dengan Inez, Rian justru malah tersenyum senang. Kapan lagi coba bisa berduaan dengan Inez dengan waktu yang cukup lama? Ya walaupun bukan di tempat enak dan nyaman, tapi tetap saja Rian akan memanfaatkan waktunya ini sebaik mungkin. Dewi Fortuna sepertinya saat ini sedang berpihak kepadanya.
"Aduh, kapan sih jalannya?" Inez berdecak jengkel. "Udah gerah banget nih gue, pengin cepat-cepat pulang dan mandi. Gue nggak tahan gilaa!" Inez berulang kali bergerak tidak nyaman.
Rian tersenyum kecil menatap Inez. "Sabar Nez, pasti ada apa-apa di depan. Lagian AC juga nyala tuh, kok lo kepanasan gitu sih? Gue juga biasa-biasa aja."
Inez membalas tatapan Rian dengan sinis. "Iya AC emang nyala, tapi ada elo yang bikin mobil gue jadi panas." Inez mendelik tajam. "Lagian ngapain juga sih gue harus terjebak macet sama lo?"
"Jodoh mungkin?" jawab Rian asal sambil mengendikkan bahu. Ia terkekeh kecil.
Inez mendecakkan lidahnya. "Idih, pede bener lo." Inez bergidik kecil sambil memalingkan wajahnya.
Rian geleng-geleng kepala. "Tenang aja Nez, duduk yang anteng. Bentar lagi pasti macetnya udah selesai."
"Mana bisa tenang gue?" sembur Inez. "Orang ada lo di sini," ujarnya tidak merasa bersalah.
Rian tidak pernah ambil hati akan ucapan menyakitkan dari Inez, bukanya merasa tersinggung dan baper, cowok itu justru tertawa kecil. "Emangnya gue kenapa Nez?"
"Lo pembawa siaal!" seloroh Inez sedikit berteriak. "Gue nggak pernah macet tuh kalo pulang sendiri, atau sama Ghea sekalipun. Baru kali ini gue ngerasain macet pulang sekolah, bareng lo pula!"
"Kenapa sih lo bawahannya sinis mulu kalo sama gue?" Rian melirik Inez.
"Karena gue nggak suka lo."
"Segitu bencinya lo sama gue Nez? Sampai-sampai gue nggak punya kesempatan buat ambil hati lo?" tanya Rian, membuat Inez terdiam sambil menatap Rian dalam-dalam.
Inez mendesah panjang. "Nggak usah ngomong aneh-aneh, lo fokus aja sama jalan lo di depan, nanti ada apa-apa mobil gue yang kena."
"Macet Nez, nggak mungkin gue nabrak. Orang mobilnya nggak gerak gini," jawab Rian, berusaha untuk sabar menghadapi Inez yang ingin cepat-cepat terhindar dari kemacetan.
"Ya lo klakson dong yang kenceng biar pada minggir, sumpek gue di sini terus."
Rian terkekeh. "Ada-ada aja sih lo, ini jalanan bukan punya keluarga atau nenek moyang lo, yang bisa lo atur seenaknya Nez, mau kena gampar pengguna jalan lain, hm?"
"Ya tapi kan ...," Inez menggantungkan ucapannya, kemudian ia mengeluarkan napas panjang. "Udalah pusing gue," lanjutnya sembari menyenderkan punggungnya di kursi. Ia lelah.
"Sabar aja Nez, bentar lagi pasti udah selesai."
"Terserah lo!"
"Oh ya." Rian tiba-tiba teringat sesuatu, Inez pun langsung menatap cowok itu, kepo akan ucapan yang akan Rian lontarkan. "Tadi sebelum lo jalan ke mobil lo, gue sempat lihat lo lagi ngomong sama Cakra."
Inez mengangguk tanpa minat. "Iya, terus?"
Rian menggaruk pelipisnya, sedikit bingung mau memulai dari mana. "Kalo boleh tau lo ngomong apa sama dia? Kayaknya serius banget."

KAMU SEDANG MEMBACA
Overdramatic (END)
Teen Fiction"Kamu minum berapa gelas sih? Mulut kamu bau banget tau nggak?" Cakra bertanya dengan satu tangan yang menutupi hidung dan mulutnya. Dahinya berkenyit bingung. "Jalan sama gue dulu, baru gue bakal jawab gue minum berapa," jawab Inez ngawur. Hal itu...