42

1.4K 85 2
                                    

Ghea duduk di salah satu bangku taman di sekolahnya sambil mengedarkan pandangannya ke sana kemari, berusaha mencari dan menemukannya seseorang yang ia tunggu. Sepuluh menit sebelum sampai di sini, Ghea sudah mengabari Rian bahwa ia ingin bertemu, ingin berbicara empat mata dengan kakak kelasnya tersebut. Awalnya Rian sempat menolak, tapi Ghea bersikeras ingin berbicara dengan cowok itu. Sampai akhirnya Rian setuju setelah Ghea menyeret nama Inez ke dalam pembicaraan.

Mendesah pelan, Ghea tersenyum getir. Inez begitu berharga di hati cowok itu. Ghea berani taruhan, Rian tidak akan menemuinya di sini kalau saja nama Inez tidak ia sebut. Sebenarnya memang tentang Inez yang akan Ghea bahas.

Tapi ya sudahlah, Ghea juga tidak bisa memaksa hati cowok itu untuk suka dengan siapa. Hingga beberapa saat setelah itu, bola mata Ghea melihat Rian yang berjalan ke arahnya dengan kedua tangan yang masuk ke dalam celana.

Senyuman Ghea mengembang sempurna, ia pun menggeser duduknya ketika Rian sudah berhenti dan berdiri menjulang dihadapannya.

"Duduk dulu kak," ucap Ghea dengan nada suara ramah. Ia menepuk-nepuk pelan tempat kosong disampingnya.

Rian pun mengangguk, kemudian ia menolehkan wajahnya ke arah Ghea. "Inez kenapa Ghe? Apa yang mau lo omongin sama gue? Inez nggak kenapa-napa, kan?"

Ghea tersenyum tipis sembari menggeleng. To the point sekali, padahal Ghea ingin sedikit santai dan berbasa-basi sebelum menjamah ke topik inti. Tapi apa daya, rasanya sedikit berlebihan juga jika Ghea meminta.

"Inez nggak kenapa-napa kok kak," jawab Inez.

"Terus?" Raut wajah Rian terlihat begitu fokus. Hingga rasanya Ghea sedikit ragu untuk menyampaikan informasi kepadanya. Ia kasihan, tapi juga harus segera menginformasikan kepada Rian. Bukankah begitu, kan? Di kafe kemarin Ghea setuju kepada Rian sesaat setelah cowok itu meminta agar Rian pacaran dengan Inez. Tapi mustahil jika Ghea bisa menyatukan mereka. Inez susah sekali buat dibujuk.

Walaupun sebenarnya apa yang akan Ghea sampaikan sekarang jauh dari janjinya tersebut. Tetap saja apapun yang berhubungan dengan Inez, akan Ghea upayakan agar Rian tahu juga, seperti informasi sekarang ini.

"Kak Rian janji jangan marah, ya?" Ghea berujar sambil mengigit bibir bawahnya. Ia menatap Rian dengan raut wajah memohon, membuat Rian terkekeh.

Rian geleng-geleng kepala, ia menepuk pundak Ghea pelan. Rian tidak tahu bahwa sentuhannya itu membuat Ghea merinding.

"Masa sih gue marah sama lo Ghe? Ya nggak mungkin lah."

"Iya aku tau kak."

"Ya udah mau ngomong apa? Inez kenapa Ghe? Jangan bikin gue tambah kepo."

"Oke oke." Ghea menghirup napas dalam-dalam, ia menoleh dan fokus menatap wajah Rian. Rian sendiripun sama, ia menatap Ghea tidak kalah fokus.

Sorot mata beradu tersebut sedikit membuat Ghea goyah. Ia baper sendiri di tatap sedemikian rupa oleh Rian. Tidak, Ghea harus fokus.

"Jadi gini kak." Ghea mendesah pelan. "Sebenarnya ...."

"Sebenarnya?"

"Sebenarnya Inez itu ...."

"Inez kenapa Ghe?" Rian mendesak. "Nggak ada kejadian buruk yang menimpa dia, kan?"

"Nggak ada, bukan itu kak." Ghea menggeleng tegas, bibirnya entah kenapa sulit mengucapkan kalimat tersebut. Ia sudah merancang di dalam otaknya, namun lidahnya terasa sulit dikendalikan.

Rian yang sudah kepalang kepo semakin tidak sabar. Ia menggerakkan kakinya berulang kali, tidak tenang.

"Ghe, lo harus fokus." Rian menyarankan, kedua tangannya kini berada di bahu Ghea. "Oke? Lo harus fokus dan bicara pelan-pelan."

Overdramatic (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang