Sepulang sekolah, Inez tidak sengaja berpapasan dengan Rian. Inez berhenti melangkah secara mendadak, tatapan datarnya mengarah ke arah Rian. Cowok itu juga melirik Inez namun tetap melangkah berlawanan arah dengan Inez.
Rian tidak mengatakan apapun, atau setidaknya menyapa ringan. Cowok itu seolah tidak peduli dengan keberadaan Inez, terlihat kontras dengan apa yang dulu-dulu cowok itu lakukan sebelum Inez menjalin hubungan dengan Cakra.
Dengan kening berkerut, Inez menatap kepergian Rian. Hingga akhirnya Inez mengendikkan bahunya tidak peduli ketika tubuh Rian sudah menghilang. Inez pun kembali melanjutkan langkah kakinya. Bukannya bagus kan kalau Rian tidak mengganggunya lagi?
Inez masuk ke dalam mobil dan segera melaju menuju rumahnya. Sesampainya di rumah, terus mandi dan menelentangkan tubuhnya di atas kasur, Inez mengambil ponselnya. Ia mencoba menghubungi Cakra meskipun hasilnya ia sudah tahu. Cakra saat ini sedang sibuk bekerja di restoran. Mengangkat telepon adalah sesuatu yang sebenarnya sedikit mustahil. Namun, Inez masih tetap mencobanya.
Berharap nggak ada salahnya, bukan?
Satu kali panggilan Inez segera terhubung. Membuat Inez mengerjapkan matanya dan langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Ia tidak mungkin salah, Cakra mengangkat panggilan darinya. Inez tidak bisa menahan rasa gembiranya.
Cewek itu menempelkan benda canggih nan mahal itu ke daun telinganya. Raut wajahnya sudah berubah menjadi berseri-seri. Ia hendak mengeluarkan sapaan, namun ia urung melakukannya lantaran di seberang sana, Cakra terlebih dahulu berkata.
"Kenapa Nez?" tanya cowok itu.
Inez berdecak, cowok itu masih sama saja. Tidak ada romantis-romantisnya sama sekali. Inez jadi kesal sendiri kalau seperti ini.
Memutar bola matanya malas, Inez menyahut cepat. "Kok gitu banget nyapanya? Ini gue loh yang nelpon."
Cakra terdiam, tidak ada sahutan lagi dari sana. Cowok itu pasti lagi berpikir untuk berkata apa kepada Inez. Benar, beberapa detik setelah itu Cakra mengeluarkan suaranya kembali. Dan Inez menyimak.
"Terus, kamu maunya aku kayak gimana Nez?"
"Ya apa kek gitu, sekiranya sapaan lembut yang bikin gue jadi baper. Ini malah langsung to the point. Nggak asik lo emang Kra."
"Contohnya?"
"Kok malah nanya gue sih?" Inez mengomel. Kemudian ia menghela napas panjang, berusaha tenang dan mengontrol napasnya yang sedikit tidak beraturan. "Pikir sendiri dong, kalo gue kasih tau, entar gue nggak jadi baper karena gue udah ngasih tau elo."
"Aku nggak ngerti Nez apa yang kamu omongin," sahut Cakra kemudian.
Inez sepertinya harus sabar menghadapi pacarnya ini. Cakra itu hanya satu-satunya cowok yang sulit Inez tebak. Jika cowok lain menunjukkan perasaan mereka secara terang-terangan, mengajaknya ngedate, nonton bioskop, atau merayunya. Berbanding terbalik dengan Cakra yang tidak pernah melakukan itu. Cakra belum punya pacar selama ini, dan Inez adalah yang pertama bagi cowok itu. Tentu, Inez merasa senang dengan hal itu. Ia bisa menjadi yang pertama menjadi milik Cakra.
Inez mengembuskan napas kasar. Ia pun menggeleng pelan. "Oke lupakan soal yang tadi."
"Terus, kenapa kamu nelpon aku Nez? Ada hal penting yang pengin kamu sampein?"
Ya ampun! Rasanya Inez ingin menjedotkan kepalanya sendiri di dinding kamar. Ia geregetan sendiri dengan pacarnya ini. Memangnya apa salahnya kalau nelpon pacar sendiri? Emangnya harus ada hal penting terlebih dahulu agar Inez bisa menelpon? Inez berusaha untuk tenang menghadapi Cakra.
"Emangnya gue nggak boleh nelpon lo?"
"Ya boleh, tapi kamu mau ngomong apa?"
"Emangnya harus ada hal penting dulu, baru gue bisa nelpon lo gitu?" tanya Inez, sedikit kesal. Nada suaranya terdengar sinis.

KAMU SEDANG MEMBACA
Overdramatic (END)
Teen Fiction"Kamu minum berapa gelas sih? Mulut kamu bau banget tau nggak?" Cakra bertanya dengan satu tangan yang menutupi hidung dan mulutnya. Dahinya berkenyit bingung. "Jalan sama gue dulu, baru gue bakal jawab gue minum berapa," jawab Inez ngawur. Hal itu...