41

1.3K 80 0
                                    

Cakra turun dari sepedanya sesaat setelah pandangannya menemukan sebuah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Kening Cakra memunculkan kerutan dalam, menandakan bahwa kepalanya tidak menemukan sebuah jawaban. Ya, Cakra bingung dan merasa ada kejanggalan di sini.

Mobil punya siapa yang Cakra lihat sekarang ini? Kenapa ada di depan halaman rumahnya? Cakra berpikir sejenak, ia tidak merasa memenangkan sebuah undian dan mendapatkan hadiah mobil. Terasa aneh juga jika neneknya yang membeli mobil.

"Apa punya Inez?" Cakra bergumam pelan. Tapi setelah ia berpikir dan ingat-ingat lagi, mobil Inez berbeda dari yang Cakra lihat saat ini.

Cakra memejamkan matanya. Kepalanya menggeleng pelan. "Nggak, bukan mobil Inez."

Tidak kuasa menahan rasa penasaran yang sudah menyeruak, Cakra pun melangkahkan kakinya kemudian memakirkan sepedanya, sebelum akhirnya ia pun berderap pelan menuju pintu utama.

Pasti di dalam sana ada tamu, meskipun Cakra belum tahu itu siapa. Dari luar, suara neneknya terdengar seperti sedang mengobrol dengan seseorang.

Menghirup napas dalam-dalam, Cakra pun memegang handel pintu, memutarnya pelan dan hati-hati, kemudian mendorongnya masuk dengan tangan sedikit gemetar.

Entahlah, perasaan Cakra tiba-tiba merasa was-was. Begitu pintu menjeblak terbuka, sorot mata Cakra langsung mengarah kepada nenek, yang juga sedang menatapnya. Tidak lama dari itu, hanya berselang beberapa detik, tatapan Cakra beralih ke arah seseorang yang duduk di kursi.

Beberapa saat Cakra merasa dunia berputar hingga membuat kepalanya pusing, Cakra merasa berada di sesuatu tempat yang tidak mempunyai oksigen sehingga membuatnya kesulitan bernapas. Cakra juga merasa lemas, seolah kakinya tidak kuat lagi menopang berat tubuhnya.

Cakra tidak berkedip menatap seorang lelaki paruh baya yang mengenakan sebuah setelan jas licin. Cakra terpaku dengan lidah yang mendadak saja terasa kelu.

Saat tatapannya berseribok dengan sepasang mata milik Cakra, lelaki itu berdiri dari duduknya. Pandangannya tidak beralih dari Cakra.

"Cakra ...." Lelaki itu menggumamkan namanya, membuat Cakra langsung menegang. Tubuhnya tiba-tiba terasa dingin, bulu kuduknya meremang seketika.

Lelaki itu mendekatkan tubuhnya, bergerak ke arah Cakra dengan langkahnya yang pelan. Semakin lelaki tersebut mendekat, Cakra melangkah mundur. Sebisa mungkin ia memberikan jarak.

"Jangan mendekat!" Untuk kali pertamanya, Cakra angkat suara sembari menjulurkan tangannya ke depan. Bibirnya bergetar, sementara lelaki itu menuruti perintah Cakra.

Mengembuskan napas lelah, Cakra menatap neneknya dengan raut wajahnya yang sukar diartikan.

"Nek ..." Cakra berucap lirih, dengan susah payah ia menelan salivanya.

Nenek hanya tersenyum, lalu mengintruksikan cucunya untuk mengambil duduk di kursi, tepat di sampingnya. Cakra melirik laki-laki itu sekilas, sebelum akhirnya beranjak menuruti kemauan sang nenek.

Cakra kembali memusatkan perhatiannya kepada nenek, menggenggam tangan keriputnya. Seolah mengerti tatapan penuh kebingungan dari Cakra, nenek lagi-lagi hanya tersenyum dan mengangguk kepada Cakra.

"Nenek tinggal dulu ya Le," ucap neneknya.

"Nenek mau ke mana?"

"Ke dapur, Cakra di sini saja," jawab neneknya, lantas wanita tua itu mengangkat bokoongnya dari kursi, kemudian menatap tamunya. "Nenek tinggal dulu ya?"

"Oh iya nek, silakan." Lelaki itu menjawab sopan seraya sedikit membungkukkan tubuhnya.

Cakra sekarang paham bahwa neneknya berusaha memberikan privasi kepadanya untuk berbicara empat mata dengan lelaki yang duduk di seberangnya, lelaki yang entah kenapa membuat Cakra jadi membencinya.

Overdramatic (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang