51

1.8K 87 1
                                    

Penyesalan yang begitu besar datang bertubi-tubi kepada Inez. Rasa bersalahnya kepada Cakra semakin hari semakin membengkak. Bahkan, selama tiga hari ini Inez tidak bisa tidur nyenyak karena Cakra. Inez benar-benar kacau, ia berulang kali merutuki dirinya yang begitu bodooh. Sudah tiga hari ini tidak ada komunikasi antara Inez dan Cakra. Cakra tidak menghindar, melainkan Inez sendiri yang butuh waktu untuk menunjukkan wajahnya di hadapan Cakra. Rasa malu yang bercampur dengan perasaan bersalah membuatnya segan memunculkannya wajahnya di hadapan cowok itu.

"Ini bukan salah Cakra, gue yang salah! Gue bodooh! Nggak seharusnya gue marah-marah sama dia." Inez memukul-mukul kepalanya berulang kali. Di dalam kamarnya yang luas, Inez merasakan begitu banyak penyesalan yang masuk ke dalam dadaanya hingga membuatnya kesulitan untuk bernapas.

Inez terus mengumpat dan merutuki kebodohannya. Andai saja ia memberikan waktu bagi Cakra untuk menjelaskan sesuatu kepadanya malam itu. Inez yakin ia tidak akan merasa semalu seperti sekarang ini.

Sekarang, Inez memang terlalu malu untuk muncul dihadapan Cakra. Mau taruh dimana mukanya ini?

Jika memang dari awal Inez tahu bahwa kedatangan Cakra terjebak karena neneknya yang sakit, tentu saja Inez akan merelakan atau bahkan malah menyuruh cowok itu untuk tetap di rumah.

Inez menggeram frustrasi sembari mengacak-ngacak rambutnya, sebelum akhirnya sebuah ketukan di pintu kamarnya sukses membuatnya terhenyak. Inez menatap ke arah pintu, lalu sedetik setelahnya muncul suara mamanya.

"Inez, udah setengah tujuh lebih loh. Kamu nggak berangkat sekolah sayang?"

Inez segera melirik jam beker yang ada di atas nakasnya. Ia mendesah pelan, jarum panjang sudah diangka delapan, sedangkan jarum pendek menunjuk angka enam.

"Iya ma, Inez mau mandi sekarang. Berangkat kok," jawab Inez sedikit napas tanpa berpindah sedikitpun dari posisinya saat ini.

"Iya sayang, nanti turun, ya? Nasi gorengnya ada di meja dapur. Kamu sarapan dulu, jangan biarin perut kamu kosong."

"Iya ma, nanti Inez sarapan."

Dan setelah itu, Inez bergegas mandi, terus memakai pakaian sekolahnya, berjalan gontai pergi ke dapur, hingga akhirnya ia sarapan pagi dan pergi berangkat sekolah dengan rasa malas.

Sesampainya di sekolah, Inez mengikuti pelajaran tanpa minat sama sekali. Ghea pun sering mendapati Inez melamun terus menerus hingga terpaksa ia menyenggol tangan sahabatnya itu agar tetap fokus pada guru yang sedang diajar. Ghea tidak mau Inez sampai dihukum.

Hingga pada bel istirahat berbunyi, Ghea berdecak jengkel dan langsung menyemprot Inez habis-habisan. "Kalo Lo merasa bersalah sama Cakra, ya harusnya lo segera minta maaf Nez, kelarin masalahnya. Lo cuma diam aja kayak gini, masalah itu nggak nggak bakal selesai. Ayo, lo harus lari."

Inez memang sudah menceritakan masalahnya kepada Ghea soal dirinya yang sangat keras bersalah kepada Cakra.

"Daripada lo sibuk nyesel sama apa yang lo lakuin, tapi lo sendiri nggak ada niatan buat memperbaikinya, itu semua buat apa coba? Nggak ada gunanya! Sebaiknya lo cari Cakra, sekarang minta maaf mumpung lagi istirahat. Gue yakin Cakra mau maafin lo Nez."

"Gimana gue mau minta maaf kalau gue aja terlalu malu buat nampakin wajah gue dihadapan Cakra?" Inez balas mengomel. "Muka gue nggak setebal itu buat menepis rasa malu gue Ghe."

"Justru itu Inez, lo harus menebalkan muka lo, buang rasa malu dan terjang sekarang langsung. Lo tahu, lo nggak mau kayak gini terus-terusan?"

Inez menundukkan wajahnya, menatap meja dengan tatapan kosong, ia menyerap apa yang Ghea katakan. Dan setelah Inez pikir-pikir lagi, apa yang Ghea katakan lebih dari benar. Masalah tidak akan selesai jika dirinya hanya asik berdiam diri. Inez harus bangkit berdiri, kemudian berlari mengejar Cakra.

Overdramatic (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang