Memakan waktu lumayan lama, belum lagi sempat berseteru dengan Rian, akhirnya Cakra sudah sampai di halaman rumahnya. Tidak lupa, Zidan juga memaksa untuk ikut.
Cakra memakirkan sepedanya di dekat pohon mangga. "Ini tempat aku tinggal sama nenek Dan," ujar Cakra sambil menatap rumahnya yang kecil.
Zidan mengangguk pelan, lalu ikut memperhatikan rumah Cakra, hingga tatapannya beralih ke sekitarnya. Zidan tersenyum kepada Cakra.
"Asri banget Kra," ujar Zidan jujur. Walaupun kecil, rumah nenek memang terbilang asri dan enak di pandang. Selain pohon mangga yang tumbuh besar di halaman rumahnya yang luasnya tidak seberapa, ada juga tanaman bunga sepatu. Selain itu, banyak juga bunga yang tumbuh di pot-pot di teras depan. Nenek Cakra sampai saat ini rajin menyiramnya.
Cakra tersenyum. "Kecil ya Dan tempatnya, maaf kalo kamu nggak nyaman," ujarnya merasa tidak enak.
Zidan menyenggol tubuh Cakra. "Apaan sih lo ah, udah gue bilang nggak masalah, masih aja di bahas terus," ucapnya malas. "Lagian rumah lo adem banget, walaupun kecil asal nyaman gue juga mau kali Kra."
Mengangguk pelan, Cakra bertanya. "Jadi kenalan sama nenek nggak Dan?" tanyanya.
"Rugi dong kalo ke sini nggak jadi masuk dan kenalan sama nenek lo?"
Cakra terkekeh. "Nenek berasa artis aja," ujarnya becanda sambil geleng-geleng kepala. "Ya udah yuk buruan masuk. Nenek ada di dalam."
Zidan menganggukkan kepalanya, lalu mengekor Cakra untuk masuk ke dalam rumah. Setelah sudah sampai di teras, Cakra melihat Zidan yang hendak melepaskan sepatunya. "Eh Dan, nggak usah dilepas sepatunya."
Zidan yang sudah memegangi sepatu dan hendak membukanya, lantas gerakannya terhenti. Ia mengurungkan niatnya sambil menatap Cahya heran. "kenapa Kra?"
"Udah nggak pa-pa, langsung masuk aja."
"Nanti kotor," sangkal Zidan.
Cakra menggeleng, tidak mau dikalahkan. "Gampang Dan, bisa aku sapu entar."
"Lo udah capek, nambah-nambah kerjaan lo dong entar."
"Protes mulu ah," ujar Cakra kesal. "Tuan rumahnya siapa sih di sini? Aku atau kamu? Kalo nggak nurut aku usir nih sekarang juga."
"Iya iya." Akhirnya Zidan pasrah. Ia sempat mencibir beberapa detik, sedangkan Cakra hanya menggeleng pelan sembari terkekeh. Keduanya kemudian masuk ke dalam rumah, tidak lupa juga mengucapkan salam.
Terdengar suara nenek dari dapur sambil menjawab salam. Cakra memperhatikan Zidan yang tengah menatap sekeliling ruang tamu.
"Duduk dulu Dan," perintah Cakra. "Aku mau nyusul nenek dulu."
Setelah mendapatkan anggukan dari Zidan, Cakra pun berjalan menyusul neneknya. Zidan duduk di kursi kayu, matanya tidak lepas menatap suasana rumah Cakra.
Walaupun sempit, tapi ruangan tersebut sangat bersih dan rapi, membuat siapa yang yang masuk ke dalam rumah tersebut dan duduk seperti Zidan sebagai seorang tamu, pasti akan merasa nyaman.
Tidak lama kemudian, Cakra kembali bersama neneknya. Melihat kehadiran nenek Cakra, tentu saja Zidan berlaku sopan. Cowok itu langsung berdiri dari duduknya, berjalan pelan menghampiri nenek dan menyalami tangan keriput wanita yang usianya sudah lebih dari setengah abad tersebut.
"Halo Nek, apa kabar?" Zidan tersenyum sopan setelah menyalami nenek Cakra. Ia sempat melirik Cakra sebentar.
"Ini siapa toh?" Nenek tampak kebingungan. Kedua matanya menyipit, berusaha melihat wajah Zidan yang berdiri di hadapannya. Maklum, faktor usia yang menyebabkan penglihatan nenek sudah mulai kabur.

KAMU SEDANG MEMBACA
Overdramatic (END)
Roman pour Adolescents"Kamu minum berapa gelas sih? Mulut kamu bau banget tau nggak?" Cakra bertanya dengan satu tangan yang menutupi hidung dan mulutnya. Dahinya berkenyit bingung. "Jalan sama gue dulu, baru gue bakal jawab gue minum berapa," jawab Inez ngawur. Hal itu...