"Aduh Nez, gue nggak bisa nemenin lo nih kayaknya." Terdengar suara Ghea dari sambungan telepon, diiringi grasak-grusuk tidak jelas.
Inez menjauhkan ponselnya dari telinga, menatap benda pipih berwarna hitam itu beberapa detik, sampai akhirnya ia kembali mengarahkan ponselnya ke telinga. Napasnya terhela panjang.
"Lo lagi ngapain Ghe?" tanya Inez.
"Gue di suruh bersih-bersih rumah nih, pembantu di rumah gue lagi pulang kampung. Sumpah ngeselin banget hari ini, mending sekolah daripada libur disuruh kayak gini. Sekali lagi gue sori Nez."
Inez mendesah kecil, "ya udah lo lanjut aja. Sekali-kali berbakti sama orang tua lo, jangan jadi beban mulu." Diakhir kalimatnya, Inez terkekeh pelan.
Sementara itu, di seberang sana terdengar omelan Ghea yang mengumpat kepadanya. Inez hanya geleng-geleng kecil.
"Sumpah ya Nez, lo ngeselin banget. Mending bantu-bantu gue kek sini."
"Semangat aja kalo gitu, gue pergi sendiri aja deh. Nggak asik sebenarnya nggak ada lo, jadi boring karena nggak ada yang ngajak ngobrol."
"Duh sori Nez."
"Iya nggak pa-pa," jawab Inez. "Gue matiin teleponnya ya? Babay beban orang tua!" Inez tertawa sendiri, ia yakin Ghea sedang menyumpah serapah dirinya.
Akhir pekan ini Inez niatnya ingin menyibukkan diri dan memanjakan mata di sebuah mal yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Dikarenakan Ghea sedang sibuk, Inez pun pasrah untuk pergi sendiri.
Inez keluar dari kamar memakai celana jeans ketat, kaus putih polos lengan pendek, kemudian dilapisi dengan jaket jeans juga. Tidak lupa, Inez membawa slin bag guna menaruh dompet dan ponselnya. Untuk alas kaki, Inez memakai sepatu berwarna putih.
Dengan rambut tergerai cantik, Inez menuruni anak tangga. Kemudian ia pamit kepada ibunya, sebelum akhirnya meluncur ke garasi untuk mengambil mobilnya. Walaupun sebenarnya Inez kurang nyaman jika pergi sendiri, tapi ia akan mencobanya kali ini.
Sebelum berbelanja barang-barang yang ia butuh dan inginkan, Inez menikmati waktunya selama satu jam setengah untuk menonton bioskop. Tepat sekali, ada film yang ia tunggu-tunggu akhirnya muncul. Setelah keluar dari dalam bioskop, Inez berkeliling, sampai akhirnya pada pukul satu siang, Inez mencari makanan karena cacing-cacing diperutnya sudah meronta meminta diisi.
Sambil menunggu makanan yang dipesan datang, Inez meluncur ke akun sosial media untuk mengusir kegabutan. Namun, tidak sengaja ketika ia mengedarkan pandangannya, ia melihat Rian sedang duduk di meja tidak jauh darinya dengan seorang pria paruh baya yang Inez yakini adalah ayahnya.
Terkejut, Inez melotot. Diserang kepanikan yang tinggi, Inez pun menutupi wajahnya dengan buku menu yang tertera di meja.
"Aduh ... Rian lihat gue nggak, ya?" Inez bergumam lirih. Ia meringis sambil memikirkan cara agar Rian tidak melihatnya. "Mana gue udah pesen makanan lagi."
Bisa jadi juga kan sebelum Inez lihat Rian, cowok itu terlebih dahulu melihatnya? Tapi dikarekan Rian sedang bersama seorang laki-laki paruh baya itu, ia tidak menghampiri Inez.
Saat ini Inez tidak mau diganggu oleh Rian atau siapapun. Ia ingin tenang tanpa melibatkan emosi. Menghela napas gusar, Inez mencoba mencuri-curi pandangan ke arah Rian. Sepertinya cowok itu tidak melihatnya.
"Nih mbak makanannya, selamat menikmati ya?" Seorang pramusaji perempuan ramah, datang ke meja Inez sembari meletakkan makanan yang Inez pesan.
Tapi mendadak Inez tidak napsu untuk makan, belum lagi jika Rian melihatnya. Akan semakin runyam hidupnya di detik ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Overdramatic (END)
Roman pour Adolescents"Kamu minum berapa gelas sih? Mulut kamu bau banget tau nggak?" Cakra bertanya dengan satu tangan yang menutupi hidung dan mulutnya. Dahinya berkenyit bingung. "Jalan sama gue dulu, baru gue bakal jawab gue minum berapa," jawab Inez ngawur. Hal itu...