29

1.6K 99 0
                                    

"Malu sendiri gue nyebut diri gue sebagai sahabat lo." Zidan mendongak ke atas menatap langit-langit kelasnya sambil tertawa hambar. Seperkian detik setelahnya, ia menatap Cakra. "Gue bodoh banget, gue nggak tau diri emang. Tapi kenapa lo nggak ngomong dari awal Kra?"

Cakra tersenyum tipis. "Nggak pa-pa, udah nggak usah dibahas lagi."

"Lo mah jawabnya selalu nggak pa-pa, nggak bosen emangnya?" Zidan mendengkus pelan. "Gue jadi nggak enak sama lo Kra, lo juga salah sebenarnya, nggak cuma gue doang. Coba lo jujur dari awal soal ini, jadi gue bisa mikir-mikir dulu sebelum ngomong sama lo."

Cakra berdecak kecil. "Ck, kan udah bilang, jangan dibahas lagi."

"Gimana mau nggak dibahas, gue aja ngerasa bersalah banget sama lo," ucap Zidan.

Ketika Cakra mengatakan kalimat 'asal ada nenek, aku bakal baik-baik aja,' beberapa menit yang lalu, saat itu juga Zidan menuntut penjelasan. Mau tak mau Cakra pun menjelaskan secara garis besarnya saja. Bahwa dirinya saat ini hidup bersama neneknya, sedangkan kedua orangtuanya sudah tidak ada di sini lagi. Tidak sampai di situ saja, Zidan terus bertanya ini itu, hingga akhirnya Cakra mengatakan bahwa dirinya harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah.

Dari situlah Zidan merasa sangat bersalah karena sudah menyombongkan bahwa dirinya baru dibelikan laptop keluaran terbaru oleh papanya. Zidan pikir hidup Cakra seperti dirinya yang apapun permintaannya bisa dituruti oleh orangtuanya. Tentu saja Zidan merasa malu.

"Maafin gue Kra, gue nggak bermaksud gitu," ujar Zidan untuk yang kesekian kalinya.

"Nggak pa-pa," jawab Cakra.

Zidan mencibir. "Terus aja jawab gitu, nggak ada stok kata lain apa?"

"Jangan minta maaf mulu juga, aku sendiri kan yang nggak enak jadinya."

Zidan menghela napas putus asa, memilih untuk tidak membahas perkara itu lagi. "Gue jadi kepo sama nenek lo, rumah lo di mana emangnya? Pulang sekolah gue mampir bisa kan?"

"Mau ngapain?"

"Kenapa? Nggak boleh mau silahturahmi sama nenek lo?" tanya Zidan menatap mata Cakra lurus-lurus.

Cakra kikuk, ia menggaruk alis tebalnya. Merasa tidak enak dengan Zidan. "Bukan gitu maksudku, gimana ya jelasinnya? Bingung."

"Lah ... Ngapain bingung sih? Gue ikut lo pulang hari ini, masa lo ngelarang gue mampir ke rumah lo? Katanya kita temenan."

"Nggak gitu Dan, aku takut kamu risi di sana," ujar Cakra seraya tersenyum kikuk. "Rumah nenek kecil, aku takut kamu nggak nyaman. Mungkin lain kali aja, ya?"

Zidan menatap Cakra sebal, napasnya mengembus kasar. "Mau rumah lo besar kek, kecil kek, mau lo tinggal di manapun juga gue nggak masalah. Memangnya gue ke sana mau ngapain Kra? Gue nggak mempermasalahkan hal kayak gitu. Walaupun keluarga gue berkecukupan, bukan berarti gue pilih-pilih dalam bertema Kra."

Cakra terdiam. "Bukanya aku nggak boleh kamu mampir Dan," ujar Cakra berusaha untuk memberikan Zidan pengertian. "Tapi aku ...."

Zidan mengangkat tangannya, membuat ucapan Cakra menggantung di udara. Kemudian Zidan menyerongkan tubuhnya menghadap Cakra, dilanjutkan memegang kedua pundak temannya itu dengan cengkeraman yang terbilang cukup kuat.

"Dengerin gue Kra," pinta Zidan, matanya yang bulat menyorot ke dalam mata Cakra. "Lo jangan malu sama gue, gue seneng bisa temenan sama lo. Gue nggak pemilih dalam berteman. Lo baik, itu yang bikin gue nyaman sama lo."

Melempar pandangan ke sembarang arah, Cakra mengeluarkan napas secara perlahan. Ia pun mengangguk. "Iya kamu boleh ke rumah," jawabnya akhirnya.

Zidan langsung mengusung senyuman lebarnya. "Serius?"

Overdramatic (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang