"Mau apa lo ke sini?" Dengan tatapan super garangnya, Inez mengangkat dagunya, menyorot penuh kesinisan kepada Rian yang tengah berdiri dihadapannya, lebih tepatnya menghalangi langkahnya untuk keluar dari kelas.
Rian terkekeh pelan. "Kok malah nanya? Bukannya udah jelas banget kalo gue mau ketemu sama lo?" ujarnya.
"Minggir deh lo! Gue mau pulang!" teriak Inez tepat di depan wajah Rian, membuat cowok itu seketika menutup matanya rapat-rapat. Tidak sampai di situ saja, Inez mendorong dadaa bidang Rian ke belakang dengan gerakan sarkastik. Tapi sayang, Rian sama sekali tidak berpindah dari posisinya, cowok itu masih bertahan. Apa yang Inez lakukan sungguh tidak berarti apa-apa. Justru, Rian malah memasang senyuman lebarnya.
"Minggir nggak?!" Inez melotot marah. Ia menahan geram, bibirnya sudah mengatup rapat dengan rahang yang mengeras. Giginya bergemeretak menahan kekesalan.
"Bentar, ada yang mau gue omongin sesuatu ke elo," cegah Rian. Ia menatap Inez dalam-dalam.
"Gue nggak ada waktu buat ngomongin hal yang sama sekali nggak penting, apalagi sama lo. Paham lo sampai sini, ha?!"
Rian mengembuskan napas pelan-pelan, ia mencoba bersikap sabar. Ia tidak perlu marah karena sudah tahu sifat Inez dari dulu. Cewek itu memang mudah meledakkan emosi.
"Gue cuma mau kasih ini," ujar Rian, sedetik setelah itu menyodorkan dua buah cokelat batang ke arah Inez. Cowok itu berharap Inez akan menerimanya dengan senang hati, setidaknya kali ini saja, agar dirinya bisa tenang dan merasa masih punya harapan.
Menunduk cepat, bola mata Inez mengerjap beberapa kali. Lalu pandanganya kembali mengarah kepada Rian. Rian mulai tersenyum, wajah garang yang Inez tunjukkan beberapa saat lalu sudah mulai surut, dan kini digantikan oleh wajah yang sedikit semringah. Apakah Inez mau menerima pemberiannya ini? Kalau memang iya, Rian akan sangat menghargai itu.
"Yakin ini buat gue?" tanya Inez, suaranya kini terdengar lirih. Ia menatap Rian nyaris dengan alis yang menyatu.
"Iya buat lo, ayo buruan ambil." Raut wajah Rian terlihat sungguh antusias. Ia senangnya bukan main, baru kali ini Inez mau menerima pemberiannya. Bagaimana Rian tidak dibuat senang coba? Tidak kunjung diambil oleh Inez, Rian menggoyangkan cokelat batangan yang sudah ia beli itu.
Perlahan, tangan Inez pun terulur ke depan, mengambil ragu-ragu coklat batangan itu. Rian tersenyum semakin lebar, begitupun dengan Inez.
"Kalo gue tau dari dulu suka coklat begini, gue bakal terus kasih lo Nez. Kalo masih kurang, lo boleh minta gue kapan aja."
Inez menengadah wajahnya, kemudian ia melangkah melewati Rian yang kini tidak menghalangi langkahnya lagi. Setelah berada di luar kelas, Inez berbalik badan menghadap Rian.
Inez tersenyum lebar. "Makasih coklatnya," ujarnya sembari menggoyang-goyangkan coklat batang pemberian Rian itu.
Rian tertawa kecil seraya geleng-geleng kepala. "Iya sam—
Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Rian langsung berhenti berkata ketika melihat Inez yang membuang coklat tersebut ke arah tong sampah yang tidak jauh dari tempatnya. Rian terperangah, kaget apa yang dilakukan oleh Inez.
Sedangkan Inez langsung membulatkan mulutnya lebar-lebar, seolah tidak sadar apa yang sudah dirinya lakukan. Cewek itu menutup mulutnya. "Ups ... Nggak sengaja."
Sedetik setelah itu, tawa Inez terdengar begitu keras hingga beberapa siswa yang kebetulan lewat menatapnya dengan tatapan sulit diartikan.
Wajah Rian langsung merah padam, ia terdiam dengan perasaan yang hancur. Cowok itu memalingkan wajahnya dan menghela napas kasar, sebelum akhirnya ia melangkah menjauh dari sana tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Bersamaan dengan kepergian Rian, tawa Inez pun terhenti. Cewek itu langsung menatap kepergian Rian yang melangkah cepat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Overdramatic (END)
Ficção Adolescente"Kamu minum berapa gelas sih? Mulut kamu bau banget tau nggak?" Cakra bertanya dengan satu tangan yang menutupi hidung dan mulutnya. Dahinya berkenyit bingung. "Jalan sama gue dulu, baru gue bakal jawab gue minum berapa," jawab Inez ngawur. Hal itu...