Cakra tidak tahu ada apa dengan dirinya. Ia merasa malu sendiri. Harusnya ia tidak bertindak seperti itu, yang secara tidak langsung akan menjerumuskan dirinya masuk ke dalam masalah Inez.
Entah kenapa, melihat Inez yang memberikan Rian minuman, separuh hatinya tidak ingin melihat hal itu. Cakra juga merasa sedikit tidak rela Inez melakukan hal itu.
Dan kini ia berusaha menebalkan muka dihadapan Inez. Cakra berjalan cepat tanpa arah, sesekali melirik ke belakang, Inez sedang mengejarnya untuk menagih penjelasan Cakra.
Cakra sendiri tidak mempunyai jawaban atas pertanyaan Inez. Maka dari itu ia lari dari cewek itu. Namun Inez tidak pernah menyerah. Inez merasa, perlakukan Cakra sungguh aneh di lapangan basket tadi, seolah-seolah cowok itu merasa bahwa Inez tidak boleh berhubungan dengan Rian.
Anggap saja Inez terlalu percaya diri, tapi memang itulah kenyataannya.
Inez berlari kencang, kemudian berdiri tepat di depan Cakra dengan napas yang memburu kencang. Inez merentangkan kedua tangannya, memblokir jalan Cakra.
Merasa menghindar adalah cara yang sia-sia, Cakra pun pasrah. Cowok itu menghela napas dan menatap Inez.
Inez tersenyum senang. "Lo nggak bisa ke mana-mana lagi," ujarnya bangga.
"Kenapa sih kamu?"
"Kok gue? Lo yang kenapa!" Inez memutar bola matanya. Kemudian ia menarik tangan Cakra tanpa persetujuan cowok itu.
Cakra mengerang protes. "Eh mau bawa aku ke mana?" tanya cowok itu seraya mengimbangi langkah Inez yang terkesan buru-buru.
"Mau nagih penjelasan lo," ujar Inez tanpa menatap Cakra.
"Aku ada urusan," ucap Cakra, berusaha menyangkal agar ia terbebas dari Inez.
"Nggak usah bohong, ikut gue aja!"
"Tap—
"Diem bisa nggak?!" Inez membentak sambil melotot tajam, membuat Cakra langsung mengunci mulutnya rapat-rapat.
Inez membawa Cakra menuju rooftop sekolah, menurutnya tempat itu akan cocok untuk berbincang. Setelah sampai di atas, Inez melepaskan pegangannya pada tangan Cakra.
Cowok itu memperhatikan sekitarnya, nampak takjub akan keindahan dari atas sini. Baru kali ini Cakra berdiri di rooftop sekolah barunya.
"Sekarang jelasin semuanya ke gue," todong Inez sembari melipat kedua tangannya di depan dadaanya. Matanya menyorot Cakra penuh penekanan.
Cakra mencibir. "Jelasin apa sih?"
"Ck, kenapa lo tiba-tiba muncul di lapangan?" tanya Inez.
"Kebetulan lewat," jawab Cakra tanpa menatap wajah Inez.
Inez geregetan sendiri. "Kalo ada orang ngomong tuh tatap wajahnya," sindirnya. Seketika itu juga Cakra langsung menatap lurus ke arah wajah Inez.
"Nggak mungkin lo lewat di situ," ujar Inez.
"Emang aku lewat kok," tandas Cakra.
"Gue nggak percaya."
"Ya udah." Cakra mengendikkan bahunya tidak peduli. Wajahnya masih saja terlihat datar.
Wajah Inez memerah, ia memukul pundak Cakra sembari mengentakkan kakinya kesal ke lantai. "Nyebelin lo emang."
Cakra terdiam.
"Jujur aja apa susahnya sih sama gue?" Inez kembali berujar.
"Emangnya aku bohong sama kamu?" Cakra membalikkan pertanyaannya. Satu alisnya memicing satu ke atas. Menatap Inez tidak mengerti.

KAMU SEDANG MEMBACA
Overdramatic (END)
Jugendliteratur"Kamu minum berapa gelas sih? Mulut kamu bau banget tau nggak?" Cakra bertanya dengan satu tangan yang menutupi hidung dan mulutnya. Dahinya berkenyit bingung. "Jalan sama gue dulu, baru gue bakal jawab gue minum berapa," jawab Inez ngawur. Hal itu...