"Aku lagi nggak mau berantem sama kamu," ucap Cakra pelan sembari melempar pandangan datar ke arah depan, lebih tepatnya mengarah kedua bola mata Rian yang menatapnya tidak bersahabat, bengis dan seperti hewan buas yang siap menerkam mangsanya kapan saja.
"Gue nggak mau basa basi sama lo lagi, gue mau lo jauhi Inez mulai detik ini juga!" Rian berkata ngotot, suaranya tegas, seperti tidak mau dibantah. Cowok itu berderap mendekati Cakra, matanya semakin terlihat nyalang.
Cakra tidak takut dengan Rian. Cowok itu masih saja tenang dan tidak ambil pusing ucapan Rian. Cakra membuang kasar napasnya sambil melempar tatapannya ke sembarang arah.
"Cuma mau ngomong itu aja?"
"Gue nggak main-main," tegas Rian. Jari telunjuknya berulang kali menekan dadaa Cakra. "Sampai gue lihat lo sama Inez lagi, gue bakal habisin lo detik itu juga." Rian melotot bengis seraya menggertakkan giginya, ia terlihat sedang menahan kekesalannya.
Setelah selesai memperingati Cakra, Rian pun berbalik badan hendak kembali ke dalam kelasnya. Namun, baru tiga langkah berjalan, perkataan Cakra sukses membuatnya kembali berbalik badan.
"Ada hak apa sampai kamu larang-larang?" tanya Cakra. Begitu Rian menatapnya lagi dengan tajam, Cakra menambahkan. "Inez bukan milik siapa-siapa, kamu bukan pacarnya."
Rian sudah mulai tersulut emosi. "Siapa bilang dia nggak milik siapa-siapa ha?" Rian berkacak pinggang sambil tertawa. "Dia punya gue, sampai kapanpun itu. Dan elo, cuma anak baru yang terlalu kepedean buat jadian sama Inez."
Raut wajah Cakra masih saja terlihat tenang. Cowok itu tersenyum tipis. "Kalo Inez pacaran sama kamu, terus kamu bisa jelasin kenapa Inez selalu ngajak aku pacaran? Lagian, kalo memang Inez sayang sama kamu, nggak mungkin dia nawarin diri buat jadi pacar anak baru ini."
Rian bertambah geram dengan ucapan Cakra yang sangat menusuk itu. Dengan irama napas yang bergerak lebih cepat daripada biasanya, tangan Rian terkepal kuat. Ia sudah terbakar emosi.
Sedangkan Cakra yang merasa terancam, sudah mempersiapkan diri. Ia melirik tangan Rian yang sudah mempersiapkan pukulan. Gerakan Rian sungguh mudah terbaca, dan Cakra senang karena itu.
"Tutup omong kosong lo itu anjiing!" Rian langsung mengangkat tangannya yang sudah terkepal, namun ketika ia hendak menonjok rahang Cakra, Cakra sudah berkelit terlebih dahulu.
Cakra tersenyum miring. "Kontrol dan perbaiki diri aja dulu, kalo kamu ngancem terus, itu tandanya kamu merasa terancam dan tersaingi."
"Inez punya gue bangsaat!"
Cakra mengendikkan bahunya. "Kalo Inez nggak mau mengakui, kamu bisa apa?"
Rian semakin membabi buta, tubuhnya menegang. Tapi sayang, ketika ia hendak melancarkan pukulannya, lagi-lagi Cakra berhasil menghindar.
"Serahkan aja semuanya ke Inez," pinta Cakra nyaris berbisik. "Kita cuma bisa melakukan yang terbaik aja buat dia. Urusan dia mau milih aku atau kamu, bakal dia sendiri yang nentuin. Paham?"
"Lo—
"Satu lagi, bersaing secara sehat nggak ada salahnya, kan?" Sebagai sentuhan terakhir, Cakra mendekat ke arah Rian, menepuk pundak kakak tirinya tersebut, lalu kembali membisikkan sesuatu di telinga Rian. "Kalo kamu terus ngancem aku gini, itu artinya kamu ngaku kalah sebelum berjuang."
Cakra pun membalikkan tubuhnya, melangkah menjauh dari Rian yang sedang memuncak dengan emosinya. Rian melontarkan berbagai sumpah sarapah untuk Cakra, tapi Cakra tidak peduli. Cowok itu terus melangkah menjauh.
***
"Nez, lo gilaa ya buat ginian?" Ghea memekik tidak percaya sambil memperhatikan Inez yang sedang fokus mengerjakan sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Overdramatic (END)
Teen Fiction"Kamu minum berapa gelas sih? Mulut kamu bau banget tau nggak?" Cakra bertanya dengan satu tangan yang menutupi hidung dan mulutnya. Dahinya berkenyit bingung. "Jalan sama gue dulu, baru gue bakal jawab gue minum berapa," jawab Inez ngawur. Hal itu...