"Aku nggak nolongin kamu," pinta Cakra. Ia menghadap Inez sambil menghirup napas dalam-dalam. "Aku ngelakuin itu untuk diri aku sendiri, aku bertindak karena itu perlu. Bukan karena kamu. Dan satu lagi yang harus kamu tau ..." Cakra menghentikan ucapannya. Lalu mendekatkan wajahnya ke arah wajah Inez, membuat Inez langsung gugup. " ... Aku nggak suka kamu."
Setelah menyelesaikan ucapannya, Cakra memundurkan wajahnya.
Inez tertawa cukup lama setelah ucapan Cakra itu meluncur. Membuat Cakra semakin tidak mengerti dengan Inez. Inez tersenyum kepada Cakra setelah tawanya berhenti. Gantian dirinya yang memajukan wajahnya ke arah Cakra.
"Lihat aja nanti, lo bakal kemakan omongan lo sendiri. Cepet atau lambat, sadar atau enggak, lo bakal jadi pacar gue. Lo bakal tertarik sama gue. Sampai sini lo paham?" ucapnya diakhiri dengan tersenyum miring.
"Berhenti bahas itu, aku nggak suka."
"Oke, gue belum selesai ngomong soal rokok tadi," ujarnya. "Kalo itu memang bukan punya lo. Terus kenapa ada di tas lo?"
"Nggak tau," jawab Cakra seadanya sambil mengendikkan bahunya.
"Pasti ada yang masukin ke sana. Terus kenapa lo nggak ngomong jujur aja sama pak Sultan?"
"Kamu lupa?" Cakra menatap Inez dalam. "Tadi aku sempat ngomong bahwa itu bukan punyaku. Tapi percuma, nggak ada yang percaya. Aku sendiri pun nggak punya bukti buat nyangkal bahwa rokok itu bukan punyaku." Cakra memejamkan matanya.
Inez mengangguk-anggukan kepalanya. "Terus siapa dong yang naruh rokok itu. Masa sih ada orang kejem gitu sama lo?"
Cakra tertawa mendengar penuturan Inez. "kamu lucu, nggak ada orang baik di dunia ini. Semuanya penuh kepalsuan, mungkin emang ada. Tapi sedikit. Dan kamu salah kalo anggep aku baik, kamu nggak kenal aku siapa Inez. Kamu kenal aku cuma luarnya doang, kamu nggak tau dalamnya aku kayak apa."
"Kalo gitu kenapa lo nggak biarin aja gue jadi pacar lo? Gue bakal tau luar dalam lo kalo kita deket terus. Gimana? Bener, kan?"
Cakra mendecakkan lidah. "Berhenti bahas hal-hal nggak penting gitu. Udah berapa kali aku bilang, aku nggak mau pacaran."
"Yakin nggak mau pacaran sama gue?" Inez tersenyum kepada Cakra. Lalu ia mengibaskan rambutnya yang indah. "Yakin nggak tertarik sama pesona gue?"
"Enggak," balas Cakra seraya menggeleng.
Inez menyipitkan matanya. Kemudian ia menatap mata Cakra lebih lama, membuat cowok itu dibuat salah tingkah.
"Ka-kamu ngapain?"
"Gue curiga kalo lo suka sesama jenis, lo homo, ya?"
Cakra melotot. "Sembarang kamu kalo ngomong!"
"Lagian lo aneh banget," kata Inez sambil menghela napas. "Gue tekankan dan ingetin lo sekali lagi nih ya, di sekolah ini cuma gue doang yang bisa naklukin semua cowok. Dan kalo gue tawarin mereka jadi pacar gue, nggak bakal ada yang nolak itu. Sedangkan lo? Jelas-jelas gue di depan mata lo dan nawarin diri. Lo justru malah nggak mau. Dosa lo nolak rejeki."
"Rejeki apanya? Beban baru iya."
Inez mencebikkan bibirnya. "Nyelekit juga ya elo kalo ngomong. Gue itu ibaratkan emas, selalu dicari dan ditunggu oleh orang-orang. Siapapun yang dapetin gue bakal beruntung banget. Lo rugi besar nolak gue."
"Ya udah pacaran aja sama cowok lain, kenapa harus aku?"
"Karena gue sukanya elo dodol. Cuma elo yang bikin gue tertarik, nggak ada cowok lain. Paham, kan?"
Cakra memilih tidak peduli dan memalingkan wajahnya. "Kenapa kamu bawa barang nggak penting gitu ke sekolah?" tanya Cakra, mengubah topik pembicaraan agar tidak terjadi keheningan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Overdramatic (END)
Teen Fiction"Kamu minum berapa gelas sih? Mulut kamu bau banget tau nggak?" Cakra bertanya dengan satu tangan yang menutupi hidung dan mulutnya. Dahinya berkenyit bingung. "Jalan sama gue dulu, baru gue bakal jawab gue minum berapa," jawab Inez ngawur. Hal itu...