•7•

369 37 0
                                    

Sedetik kemudian mereka tertawa bersama-sama, Nindhi sudah tahu kalau omelan Keysa tadi hanya bercanda. Mereka sudah bersahabatan dari SMP—jadi mereka sudah paham satu sama lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa keduanya itu sangat cocok jika disatukan. Walau mereka sering bertengkar namun hal itu tidak lama. Pasti akan ada yang mengalah dan meminta maaf duluan.

Darel menghentikan langkah kakinya yang lebar saat melihat Keysa dan Nindhi tengah berjalan beriringan. Pandangan Darel kearah Keysa. "Pagi, Key." Darel menyapa dengan suara suara bariton yang terdengar berat saat melewati Keysa.

Kontan, mata Nindhi melolot tak percaya, bagaimana bisa sahabatnya itu di sapa oleh salah satu most wanted yang terkenal di sekolahnya itu? Dia menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Jujur saja, bagi Nindhi hal itu masih sulit di percaya. Nindhi mencubit pelan pipinya... rasanya sakit. Berarti yang tengah dia lihat itu nyata dan bukan haluan semata.

Lantas Keysa tersenyum manis. "Pagi juga, Darel." Keysa menyahut malu-malu.

Darel hanya mengangguk sebagai responnya, dia tersenyum samar. Namun, tentu saja tak ada yang melihat senyumnya Darel saat ini. Terlebih melihat tingkah Keysa yang tengah malu-malu kucing itu membuat Darel gemas sendiri kepada Keysa.

Keysa meremas roknya karena gugup. Sesekali dia juga menggigit pipi bagian dalamnya. "Gue masuk kelas dulu ya, Rel? See you!" Keysa berpamitan dengan gugup.

Darel mengangguk tanda dia setuju. "Semangat belajarnya... jangan baca novel mulu," Darel menukas dengan cepat sebelum akhirnya dia berbalik dan kembali melangkahkan kakinya lebar yang tadi sempat tertunda. Darel pergi meninggalkan Keysa untuk menuju ruang kelasnya sendiri yang letaknya lumayan jauh dari kelas Keysa.

Hellow? Gue ini sebenernya di anggap apa sih oleh mereka? Obat nyamuk gitu? Jomblo bisa apa dong? Batin Nindhi dalam hati.

"Uhuk... uhuk..." Nindhi pura pura batuk, dia sudah tidak tahan di sini. Rasanya sungguh begitu hareudang. Menurut dirinya sendiri, kini dia seolah tengah seperti obat nyamuk saja. Tangan kanan Nindhi terangkat untuk menepuk-nepuk pelan dadanya.

Sontak Keysa tersadar bahwa dari tadi Nindhi diam saja sambil berdiri di sampingnya. Kenapa Keysa baru sadar sekarang, huh? "Eh, lo kenapa Nin?" Keysa bertanya dengan panik. Keysa mengayunkan kakinya untuk mendekati Nindhi yang tengah berpura-pura batuk.

"Uhuk... uhuk..."

Keysa langsung saja menarik lengan sahabatnya untuk masuk ke kelas. "Duduk dulu, Nin!" Keysa memerintahkan Nindhi untuk duduk disalah satu bangku teman kelasnya yang masih kosong. Keysa sekarang terlihat sangat khawatir. Sedetik kemudian Keysa segera mengambil botol minumnya yang berada di saku tas ranselnya yang berwarna biru.

"Uhuk... uhuk... uhuk..." Nindhi kembali terbatuk.

"Nih, minum dulu, Nin," Keysa memerintah Nindhi lagi seraya menyodorkan botol minum yang berwarna biru.

Nindhi menurut. Tangan kanannya terulur untuk menerima botol minum milik Keysa dengan senang hati. Detik berikutnya Nindhi minum air putih itu dengan beberapa kali tegukan. Keysa tetap memasang wajah panik, sesekali telapak tangan kanannya mengelus-elus pelan punggung Nindhi.

Nindhi terkikik geli dalam hati. Ngerjain Keysa ternyata enak juga ya.

Tiba-tiba, Sherly yang baru saja datang kekelas langsung mendorong keras bahu Keysa begitu saja, hal itu membuat Keysa hampir saja terjatuh. "Lo jadi orang enggak usah caper deh, ngapain lo caper ke pacar gue, huh?" Sherly bertanya kesal seraya berkacak pinggang. Namun, bola matanya masih menatap Keysa dengan benci.

Caper? Memangnya siapa yang caper? Keysa bertanya dalam hati.

Keysa mengernyitkan dahinya, kedua alisnya saling bertautan—tanda jika dia sedang bingung. "Siapa yang caper, huh?" Keysa menyahut santai seraya mengangkat sedikit dagu nya.

Sherly menatap Keysa dengan tajam. Dia tersenyum miring seolah tidak puas dengan jawaban dari Keysa tadi. "Halah, nggak usah pake alesan segala deh lo, dasar pelakor!" Sherly menukas menusuk.

Nindhi tidak terima saat sahabatnya dituduh seorang pelakor pun langsung segera bangkit dari duduknya. Kini dia sudah berdiri didepan Sherly. Memandang Sherly dengan tatapan yang terlihat remeh. Detik berikutnya telapak tangan kanannya terangkat untuk mendorong keras bahu kanan Sherly, membuat Sherly yang tidak bisa menahan keseimbangan tubuh pun akhirnya menjadi jatuh.

"Aww..." Sherly meringis kesakitan saat pantatnya mencium lantai kelas dengan keras. Dia memejamkan matanya sejenak—menahan dirinya sendiri agar tidak menjambak-jambak rambut Nindhi atau mencakar-cakar wajah cantik Nindhi.

Nindhi tertawa puas. "Haha... syukurin lo... makanya jadi orang jangan suka memfitnah orang, karma masih berlaku woi! Pacar lo duluan yang nyapa Keysa, bego! Jadi lo jangan salahin sahabat gue, salahin aja pacar lo itu, dasar bego!"

"Heh, lo apa-apaan sih pake acara dorong sahabat gue segala?" Rosalind Mahardika yang nota bene-nya adalah sahabat baiknya Sherly itu mengomel. Dia baru saja datang dikelas. Kini, Rosa membantu Sherly untuk berdiri.

Nindhi mengendikan bahunya acuh. Tangan kanannya terangkat untuk merangkul bahu Keysa. Dia menatap Rosa tajam. "Sahabat lo duluan yang nyari gara-gara, bego!" Nindhi menyahut dengan santai.

Keysa menolehkan wajahnya ke arah Nindhi. Dia tersenyum tipis. Keysa sungguh sangat bersyukur mempunyai sahabat baik seperti Nindhi. Sungguh, Keysa sangat beruntung mempunyai sahabat seperti Nindhi. "Udah, Nin. Enggak usah di ladenin... biarin aja udah," Keysa berbicara setengah berbisik seraya mengusap-usap lengan mulus Nindhi—berharap bahwa Nindhi akan nurut kepadanya.

Nindhi tersenyum lebar. "Ashiap bosque!" Nindi memekik dengan sedikit meninggikan suaranya.

Tawa mereka berdua kembali pecah. Keduanya sama-sama tertawa. Entahlah, mungkin tidak ada yang lucu, tetapi entah kenapa mereka berdua tertawa. Sedangkan Sherly dan Rosa yang melihat keduanya tertawa pun berdecak kesal. Tentu saja mereka berdua iri saat melihat Keysa dan Nindhi yang kini tengah tertawa bersama-sama.

*


Pagi ini, bel masuk baru saja berbunyi. Hal itu kontan membuat para murid SMA Merah langsung segera menjerit dan berlari untuk masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Ada yang tengah berdesak-desakan saat ingin menuju kelas, ada yang terjatuh, ada pula yang tersandung.

Dan ada pula murid yang masih berada dikantin, perpustakaan, kamar mandi, taman, dan lain-lain seolah tengah menulikan pendengarannya saat mendengar bel berbunyi tadi. Semua kelas pun kontan terdengar sangat riuh. Tak ayal kelas sebelas IPA3 pun terdengar sangat riuh melebihi pasar tradisional.

Beberapa cowok diantaranya sibuk main game, berantem, ataupun tidur dikelas. Sementara para cewek, mereka tengah sibuk bergosib ria. Ada juga yang tengah berdandan dikelas. Dan ada juga beberapa segelintir cewek yang tengah mem-bully siswi yang terlihat cupu dan pendiam. Sadis memang, tetapi para cewek itu sama sekali tak peduli dan tidak ingin menghentikan aksinya.

Sementara Keysa dia tengah asyik mengobrol ria dengan Nindhi.

Oji tengah duduk santai pun langsung beranjak dari duduknya dan berlari kearah pintu kelas. Dia meraih knop pintu lalu dia tarik sedikit kebelakang. Membuat pintu kelas sedikit terbuka. Oji segera mengintip luar kelas. Terlihat dari seberang sana ada salah satu guru wanita yang tengah berjalan menuju sebelas IPA3.

Sontak Oji langsung panik sendiri karena kelasnya itu sangat terdengar berisik, kemungkinan orang yang berada diluar kelas bisa mendengar suara bising yang dibuat oleh para temannya. Oji menutup kembali pintunya lalu dia memutar tubuhnya lalu menatap tajam pada teman-temannya yang tengah sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

"Woi! Jangan berisik! Bu Sana sudah mau kesini, semuanya cepat duduk di bangku masing masing!" Oji berseru dengan tegas seraya memukul salah satu meja milik siswi yang letaknya tak jauh dari pintu.

Sontak semua murid langsung terperanjat kaget ketika mendengar suara pukulan meja yang terdengar nyaring. Para murid pun kini langsung pada diam dan berlari menuju bangkunya masing-masing. Cewek-cewek yang sedang berdandan pun pipinya ikut tercoret lip stick karena mendengar perintah dari Oji barusan.

Buru-buru mereka menyeka lip stick yang menodai pipi mereka dengan selembar tissue. Tidak mungkin kan jika wajah mereka terlihat jelek ketika didepan para cowok? Tentu mereka harus memaksakan diri untuk tampil cantik didepan para cowok—tidak mungkin mereka akan tampil jelek. Mau ditaruh dimana muka mereka, huh?

DAREL (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang