•49•

105 18 0
                                    

"Tunggu!" seru Darel dengan baritonnya yang terdengar berat.

Sontak Keysa langsung terkejut, suara itu... seperti tidak asing lagi baginya. Tanpa melewatkan kesempatan, Darel segera menarik lengan milik Keysa—membuat jarak Keysa dan Darel semakin dekat.

Keysa diam dan tidak bergeming sama sekali—dia menolehkan wajahnya kebelakang. Matanya refleks membulat sementara mulutnya menganga, tidak percaya. Cowok itu adalah Darel—pacarnya. Bagaimana bisa Darel di sini?

"Darel."

"Keysa."

Kedua memanggil dengan kompak. Keduanya sama terkejutnya.

Darel melepas cekalan tangannya, lalu dia berdiri. "Sayang, kok kamu bisa di sini?" Darel bertanya penasaran.

Keysa tertawa kecil lalu dia menaruh nampan yang berwarna hitam itu di meja, tepatnya disamping cangkir coffee yang berisi cappuccino. "Harusnya aku yang nanya gitu ke kamu,"

Darel diam membeku. Dia tidak bergeming sama sekali. Keysa mengernyitkan dahinya saat melihat Darel yang tidak seperti tadi siang. Darel terlihat berbeda. Bukan wajahnya yang terlihat berbeda—malahan Darel saat ini menjadi lebih tampan berkali-kali lipat.

Keysa mendongak—menatap rambut Darel yang terlihat acak-acakan, hal itu membuat penampilan Darel semakin sempurna. "Rambut kamu acak-acakan," ucap Keysa jujur, tangan kanannya terulur untuk merapihkan ramput Darel yang terlihat acak-acakan.

Darel mengembangkan senyum. Hal kecil pun bagi Keysa itu sangat penting. Darel semakin tidak rela jika dia harus meninggalkan Keysa. Harusnya yang di jodohkan dengan Sherly itu David, bukan dirinya.

Tangan Darel terangkat untuk mengusap-usap rambut Keysa dengan sayang. Darel tidak mau menceritakan masalah perjodohan kepada Keysa. Menurut Darel Keysa lebih baik tidak mengetahui masalah perjodohan konyol itu. Darel harus bisa menyembunyikan perjodohan konyol itu. Mengingat bahwa dia tidak ingin putus dengan Keysa.

"Kamu pusing ya?" Keysa bertanya dengan wajah yang terlihat khawatir.

Darel menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, sedetik kemudian dia tersenyum manis. "Nggak sayang," dustanya.

Keysa menggelengkan kepalanya, dia sungguh tidak percaya dengan jawaban Darel. Keysa tahu bahwa Darel sedang pusing. Sedang banyak masalah, maybe?

Keysa memicingkan matanya, dia tahu kalau Darel tadi telah membohonginya dengan omong kosong. Sedetik kemudian Keysa tersenyum. Mungkin, Darel tidak mau bercerita tentang masalah pribadinya. Keysa tidak mau memaksa Darel untuk bercerita.

Keysa menunduk, lalu ia menggenggam jari jemari Darel. Keysa kembali mendongak seraya tersenyum manis. "Ikut aku,"

Darel mengangguk lalu tersenyum manis. Dia bahagia kalau Keysa mau menemaninya. Darel sekarang hanya butuh seorang kekasihnya, yaitu Keysa.

Keysa menarik tangan Darel, sepanjang perjalanan Darel dan Keysa hanya diam. Suasana teramat canggung. Keysa membawa Darel ke taman yang letaknya di belakang café D'A. Taman ini terlihat indah, namun tidak ada satupun orang yang berada di taman—kecuali dirinya dan Keysa. Darel memandang takjub taman ini, baginya taman ini adalah taman yang paling indah yang pernah dia kunjungi.

Keysa mendongak menatap wajah tampan Darel yang masih memandangi taman rahasia. "Ini adalah taman rahasia, kamu adalah satu-satunya orang yang tahu taman ini selain aku dan mommy-ku."

Darel tidak bergeming. Dia hanya tersenyum manis. Bola matanya tidak lepas memandangi taman rahasia yang indah ini.

Lampu-lampu hias kecil yang mengitari pohon pohon yang menhiasi taman. Terang tetapi terlihat remang-remang. Beberapa macam bunga juga ikut memberi keindahan tersendiri. Terlihat puluhan kunang-kunang yang cantik tengah terbang mengitari kedua insan yang sedang jatuh cinta.

"Kunang-kunang ini cantik—" Darel sengaja menjeda ucapannya, senyumnya mengembang, dia menunduk lalu meraih telapak tangan kanan Keysa, menggenggamnya dengan erat.

"Seperti kamu." Lanjut Darel seraya mengecup pelan punggung telapak kanan Keysa.

Pipi Keysa bersemu merah karena perkataan Darel barusan, tetapi dia bersyukur karena cahaya lampu di taman ini remang-remang. "Gombal." sahutnya pelan.

Darel hanya terkekeh pelan saat mendengar jawaban Keysa. "Aku cinta banget sama kamu, Key." ucapnya lalu dia memeluk tubuh mungil Keysa.

Keysa terkejut, sedetik kemudian dia tersenyum. "Aku juga." sahut Keysa seraya menenggelamkan wajahnya yang bersemu merah di dada bidang milik Darel.

Darel mengeratkan pelukannya, dagunya dia taruh di atas rambut milik Keysa, sesekali matanya terpenjam. "Aku enggak mau kita pisah, Key." Darel mengusap-usap rambut belakang Keysa dengan sayang.

Keysa hanya menjawab dengan gumaman pelan, dia sangat nyaman. Jantungnya berdegup kencang, begitupun dengan jantung Darel. Ada gelenyar aneh yang menyengat tubuhnya. Keysa merasa bahwa perutnya itu ada kunang-kunang yang sedang menari-nari di sana.

Saat 'ku di dekatmu
Bisik hati kecilku bertanya
Benarkah yang kau rasa
Hanyalah diriku yang kau puja?
Akankah ini selamanya?
Ataukah hanya semata?

*

Keysa masih fokus membaca novelnya. Dia sudah bosan mendengarkan celotehan yang sama dari mulut Nindhi. Nindhi tengah duduk kursi yang berada tepat di kursi miliknya. Dia tengah asyik memakan roti selai kacang, tetapi mulutnya tak henti-henti untuk berceloteh. Jujur saja, kuping Keysa terasa panas—rasanya dia ingin keluar saja dari kelas. Dari tadi Nindhi berceloteh membanding-bandingkan dirinya dengan Keysa. Bahwa Keysa tidak suka olah raga, tetapi Nindhi sebaliknya. Mungkin, ini sudah sepuluh kalinya Nindhi berceloteh hal itu.

"Lo hari ini kebanyakan diamnya, Key," keluh Nindhi pelan, lalu dia kembali memasukan potongan roti selai kacang yang berada di telapak tangan kanannya kedalam mulutnya.

Keysa menurunkan buku novelnya lalu berdeham pelan untuk mengurangi rasa gugupnya, dia melirik sekilas ke arah sahabatnya yang sedang duduk tepat disampingnya. "Masa sih?"

Nindhi hanya mengangguk seraya bergumam pelan. Pasalnya hari selasa ini Keysa terlihat berbeda. Banyak melamun, banyak diamnya, dan lebih banyak menyendiri. Nindhi tidak tahu penyebab itu semua. Mata Nindhi membulat, kenapa dia baru ingat ada PR matematika. Nindhi menoel-noel pipi yang sedikit chubby milik Keysa, "Key, lihat buku matematika lo dong, please..." Pinta Nindhi seraya memasang puppy eyes andalannya.

Keysa memutar bola matanya jengah, mau sampai kapan Nindhi nyontek kepadanya. Tangan kanan Keysa terangkat untuk menyeloyor kepala Nindhi pelan. "Nyontek mulu hidup lo,"

Nindhi terkikik geli, perkataan Keysa tadi tidak salah, namun sangat benar. "Lo kan tahu kalau gue itu bodoh kalau soal pelajaran,"

Keysa meletakan buku novelnya di meja. Dia menoleh ke arah Nindhi. Keysa menggeleng pelan. Sedetik kemudian Keysa mengembangkan senyum. "Tidak ada orang yang bodoh di dunia ini, asalkan dia mau belajar pasti dia akan pintar,"

Nindhi diam mematung. Perkataan Keysa benar juga, selama ini Nindhi tidak ingin berusaha. Nindhi tidak ingin pusing, makanya dia selalu mencontek. Nindhi juga tidak punya waktu untuk belajar. Nindhi itu setiap hari hanya sibuk ber-olah raga. "Gue nggak ada waktu buat belajar, Key,"

Keysa menggertakan giginya kesal, dia mencubit pipi yang tidak chubby milik Nindhi. Kenapa Nindhi begitu menggemaskan sekali?

"Gue gemes sama lo, jadi pengen cubit ginjal lo aja deh,"

"Tadi kenapa lo cubit pipi gue? Katanya lo pengen cubit ginjal gue," Nindhi membeo.

Keysa menghela nafasnya kasar. Dia menoleh kearah Nindhi yang terlihat polos. Kenapa Keysa dulu mau berteman dengan cewek macam Nindhi? Entahlah Keysa pun lupa soal itu.

"Tau ah, lo udah bikin gue jadi badmood tahu nggak?"

"Maapin gue ya?" bujuk Nindhi lagi dengan mengatupkan kedua telapak tangannya.

Keysa tidak bergeming, tangannya mengantung untuk membuka tas ransel yang berwarna biru miliknya. Dia mencari buku matematika miliknya. Sedetik kemudian dia tersenyum saat menemukan buku itu. Keysa menyodorkan buku matematika miliknya itu kearah Nindhi.

DAREL (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang