Sherly menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakannya. "Ini tidak mungkin! Arghhh..." Sherly berteriak dan berhasil membuat semua pengunjung yang tengah menikmati coffee menjadi menoleh ke arahnya. Sedetik kemudian Sherly berlari kencang untuk keluar dari café seraya menangis meraung-raung. Biarlah jika orang lain menyebutnya cengeng. Toh, Sherly tidak peduli sama sekali. Tanpa mengucapkan sepatah katapun Varo langsung segera berlari menyusul Sherly—adik perempuan kesayangannya. Sementara Keysa? Dia sudah berlari terlebih dulu untuk menuju taman rahasia yang letaknya di belakang café D'A.
"Jangan tinggalin mommy, nak!" Linda berusaha mencegah seraya masih menangis histeris. Saat Linda ingin berlari mengejar kedua anaknya tiba-tiba pergelangan tangannya di cekal oleh Jovanka—mantan suaminya.
Raut wajah Jovanka terlihat datar, Jovanka menggeleng pelan—mengisyaratkan agar Linda tidak gegabah untuk menyusul ketiga anaknya. "Mereka butuh waktu untuk sendiri."
Linda sama sekali tidak menghiraukan perkataan Jovanka barusan. Tubuh Linda seketika menjadi lemas. Memang benar ini salahnya tetapi tidak sepenuhnya salahnya karena Jovanka pun bersalah, mungkin salah Jovanka lebih besar daripada dirinya sendiri.
o0o
Rambut panjang Aletta di cepol asal, saat ini dia sedang duduk di tepi kasur queen size milik Keysa—saudara perempuannya. Dia tengah menunduk, matanya tidak lepas dari lantai dengan, tatapannya terlihat begitu kosong.
Keysa sendiri dia sedang duduk di atas kasur king size-nya, kelopak matanya tidak henti-hentinya mengeluarkan cairan berwarna putih. Entah sudah berapa jam lamanya Keysa menangis meraung-raung seperti saat ini. Tentu saja dia masih syok dengan kejadian tadi sore. Kenapa faktanya begitu menyakitkan, huh? Di mana dia sudah mengetahui bahwa Sherly itu adalah kakak kandungnya sendiri.
Lidah Alletta terasa kelu untuk mengucapkan sepatah katapun, dia sendiri bingung harus menjawab apa yang di ceritakan Keysa tadi. Keysa telah menceritakan kejadian tadi sore—dimana dia telah mengetahui daddy-nya yang selama ini dia belum mengetahuinya.
"Semua orang jahat! Arghhh!" Keysa berteriak, terdengar nyaring. Kedua telapak tangannya meremas kuat boneka macan berwarna putih yang di berikan Darel beberapa waktu yang lalu. Keysa ingin menyalurkan kekesalannya pada boneka macan. Keysa menunduk menatap bonekanya dengan kesal. Tatapannya jadi sendu, entah kenapa dia jadi teringat momen-momen indah bersama Darel. Keysa menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Keysa tidak boleh mengingat Darel lagi. Keysa harus bisa melupakan Darel karena Sherly—yang nota bene-nya adalah kakak perempuannya sendiri. Tiga detik kemudian tangan kanan Keysa terangkat untuk melemparkan boneka macan putih ke lantai.
Darel gue benci lo! Batinnya.
Alletta tidak tahu harus berbuat apa lagi. Lebih baik dia diam saja, bukan? Jujur saja, Alletta juga merasakan apa yang Keysa rasakan sekarang. Dia tidak bisa membayangkan jika dirinya sendiri yang mengalami kejadian seperti saudara perempuannya. Alletta kembali menolehkan wajahnya ke arah Keysa. Terlihat penampilan Keysa sangat berantakan, piyama merah yang terlihat lusuh dan basah karena air mata. Kedua mata yang terlihat memerah dan membengkak. Rambut gelombang yang terlihat acak-acakan. Serta wajah cantik yang basah karena air matanya sendiri.
Alletta menggeleng-gelengkan kepalanya pelan saat melihat saudara kesayangannya yang sudah dia anggap seperti kakaknya sendiri terlihat sangat mengenaskan. Isakan tangis serta raungan terdengar nyaring di dalam kamar bernuansa putih netral. Kenapa Alletta jadi ingin menangis sekarang juga, huh?
Alletta sungguh tidak tega melihat Keysa menangis terus menerus seperti saat ini. Mata Alletta sudah berkaca-kaca. Mungkin kalau Alletta berkedip sekali air mata itu langsung segera jatuh dari pelupuk matanya. Alletta merangkak untuk naik ke atas kasur. Alletta ingin jika Keysa berhenti menangis. Tanpa pikir panjang Alletta langsung memeluk Keysa—Keysa sendiri, dia tidak meronta sama sekali. Dia juga tidak membalas pelukan Alletta itu. Air mata yang sedari tadi Alletta bendung akhirnya jatuh juga, Alletta memejamkan matanya—membiarkan air matanya mengalir indah di pipinya. Kedua telapak tangannya tidak henti-hentinya mengusap punggung Keysa.
"Sudah, jangan nangis terus kak." Pinta Alletta dengan suara yang terdengar lirih.
Keysa tidak berhenti menangis, tetapi dia malah mengencangkan suara tangisnya membuat Alletta mengeratkan pelukannya. Walaupun Alletta sering membuat Keysa marah tetapi Alletta sangat menyayangi Keysa. Alletta melirik jam dinding sekilas. Terlihat jam sudah menunjukan pukul setengah sembilan. Sepulang sekolah sampai sekarang, Keysa tetap berada di kamarnya. Tidak ada tanda-tanda Keysa ingin keluar kamar.
"Kak Keysa makan dulu ya? Letta nggak mau kak Keysa jadi sakit." Bujuknya lirih.
Keysa menggeleng keukeuh sebagai responnya, namun tangisnya semakin mereda. Senyum Alletta pudar saat melihat respon Keysa. Keysa memandang sendu piring yang berisi nasi dengan ayam bakar dengan sendu. Sedari tadi Aletta memang sudah menyuruh Keysa untuk makan, tetapi Keysa lagi-lagi menolaknya. Alletta sekarang tengah bingung. Dia sekarang harus berbuat apa supaya Keysa mau makan, huh? Alletta kembali menghela nafasnya dengan kasar.
Dari tadi Keysa tak henti-hentinya menjerit dengan keras. Keysa menggigit bibir bagian bawahnya, berharap agar isak tangisnya reda. Tetapi hasilnya nihil—Keysa benar-benar tidak bisa menahan isak tangisnya.
"Kenapa mommy dari dulu gak pernah bilang soal rahasia ini, huh?" Keysa bertanya di iringi isak tangisnya.
Suara Keysa terdengar bergetar di kedua telinga Alletta. Alletta diam membeku. Jujur saja, Alletta tidak tahu harus menjawab apa. Alletta kembali menggigit pipi bagian dalamnya. "Mungkin tante Linda belum siap menceritakan rahasia itu ke kak Keysa." Sahutnya lirih.
Tanpa Keysa dan Alletta sadari dari tadi Linda berdiri membeku tepat di depan pintu kamar Keysa—anak bungsunya. Punggungnya dia sandarkan di depan pintu kamar Keysa yang terkunci. Sama halnya seperti Keysa, Linda saat ini juga tengah menangis, tetapi bedanya dia hanya menangis dalam diam. Air matanya tak henti-hentinya jatuh dari pelupuk matanya. Tangan kanannya terangkat untuk memegang dadanya yang terasa sakit. Dia menengadahkan wajahnya keatas menatap langit-langit yang berwarna putih netral. Kedua kakinya terasa sangat lemas, samar-samar tadi dia mendengar perkataan yang terdengar menyakitkan di kedua telinganya.
Memang benar adanya jika Linda salah. Harusnya dari dulu dia jujur saja dengan anak bungsunya. Kedua sudut bibir Linda terangkat untuk membentuk lengkungan senyum tipis. Mungkin hari ini adalah waktu yang tepat untuk ke tiga anaknya untuk mengetahui rahasia besar yang selama ini telah dia dan mantan suaminya sembunyikan? Entah kenapa Linda jadi teringat kata pepatah ini— Sepandai-pandai tupai melompat, pasti akan jatuh juga.
o0o
Sherly saat ini sedang duduk di dalam bathup yang sudah berisi air dingin yang penuh. Dia diam membeku di tempatnya. Mungkin sudah ada satu jam dia duduk di sini. Di atasnya terdapat shower yang masih menyala, membuat rambut panjangnya ikut basah sedari tadi. Dia sendiri tengah mengenakan dress mini yang berwarna pink yang sudah basah karena air yang berada di dalam bathup dan shower terus mengguyurnya. Dia memejamkan matanya, menikmati air yang terus mengguyurnya. Wajar saja jika tubuhnya sudah menggigil kedinginan.
Tidak ada tanda-tandanya jika Sherly ingin beranjak dari duduknya. Sherly tertawa miris—menertawai dirinya sendiri yang tidak pernah bahagia. Biarlah jika Sherly mati. Toh, di dunia ini tidak ada yang peduli dengannya, bukan? Jujur saja Sherly sudah capek untuk hidup setelah mengetahui rahasia yang besar dan terlebih sangat menyakitkan. "Sherly capek Tuhan." Keluhnya dengan suara yang terdengar bergetar. Kedua telapak tangannya meremas kuat dress mini miliknya. Air yang membasahi rambutnya tak henti-hentinya menetes.
Jika Sherly boleh memilih. Sherly ingin memilih jika dia tidak di lahirkan saja karena hidupnya tidak pernah bahagia walaupun dia anak orang kaya, hidupnya selalu mewah, dan bergelimang harta. Tetapi selama ini Sherly tak pernah bahagia. Jujur saja, Sherly sering merasa iri dengan teman-temannya yang punya keluarga utuh dan harmonis meskipun mereka tidak kaya seperti dirinya. Sherly tahu bahwa hidup itu adil, makanya Sherly tidak mau menyalahkan Tuhan.
Tok tok tok.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAREL (END)
Teen Fiction(NOVEL SUDAH TAMAT, BURUAN DIBACA SEBELUM MENYESAL AKHIRNYA.) ______________________________________________ ⚠️Spoiler⚠️ "Arghhh!" Keysa menjerit dengan suara yang terdengar bergetar. Darel melepaskan jas miliknya yang berwarna hitam, menyisakan kem...